Kamis, 22 Februari 2018

Semacam Coretan

Selamat Ulang Tahun untuk kau yang hari ini, 23 Februari ini, tepat berusia 26 tahun.

Kau, berusia 26 tahun? Tidak, 26 tahun adalah usia kecantikanmu. Usiamu yang sebenarnya adalah sama dengan usia rembulan. Kau dan rembulan diciptakan Tuhan secara bersamaan, sampai-sampai semesta dahulu kala mengira kalau kau dan rembulan adalah bayi kembar-siam.

Bahkan banyak pengembara yang menyandang keyakinan kalau kecantikannya rembulan disadur dari kecantikanmu. Bahwa kecantikanmu diciptakan untuk memudahkan mereka memahami sifat jamaliyahnya Tuhan.

Mengapa kau diciptakan Tuhan ke dunia? Karena Tuhan hendak mengajari semesta bagaimana cara merias keindahannya, mengajari bagaimana senja merawat pesonanya. Mengapa kau diciptakan Tuhan? Karena Tuhan hendak membuat jalur resmi untuk memahami makna keindahan yang paling sah.

Selamat Ulang Tahun..

Rabu, 13 Desember 2017

Semacam Coretan

UNTUKMU DI PENGHUJUNG TAHUN

Kuperbaiki cintaku padamu dari tahun ke tahun
Seperti seorang murid memindahkan tugas sekolahnya ke buku-buku baru.
Juga akan kuberikan padamu tempat tinggal tetap di hatiku

Aku tak akan meninggalkanmu sendirian di tanggal 31 Desember. Tanganku akan membawamu di empat musim.

Sungguh aku mencintaimu.
Aku tak ingin melibatkanmu dengan kenangan yang sudah kita lalui.
Tidak juga kenangan pada penumpang kereta.
Kau kereta terakhir yang mengadakan perjalanan siang-malam di nadi tanganku.
Kau keretaku yang terakhir, dan aku pemberhentianmu yang terakhir.

Sepasang matamu mengandung daya kenabian
Dan keduanya bertanggung jawab atas kebahagiaan di muka bumi ini

Aku mencintaimu,
dan aku suka melibatkanmu di dalam waktu dan suasanaku
Dan menjadikanmu sebagai bintang di peredaranku.
Aku ingin kau mengambil bentuk kalimat dan selembar kertas,
agar ketika diterbitkan sebagai buku, bisa dibaca manusia,
dan mereka akan menemukanmu sebagai mawar di dalamnya

Aku ingin kau mengambil bentuk mulutku
Agar ketika kau bicara, manusia menemukanmu berlumuran di suaraku
Aku tak memilih untuk mengadakan selamatan. Aku memilih rindu.

Mengapa kau memerintahkanku menjumpai hujan?
Bukankah kau tahu, bahwa seluruh sejarahku bersamamu---
Yang berkaitan dengan gugurnya hujan
Adalah satu-satunya sensivitas yang membuatku terjaga

Mengapa kau memerintahkanku?
Bukankah kau tahu bahwa satu-satunya buku
Yang kubaca setelahmu, adalah Buku Hujan.

Sungguh aku mencintaimu.
Inilah satu-satunya pekerjaan yang kukuasai
--- profesi yang membuat teman dan musuhku dengki.

Terimakasih,
Karena kau telah memasukkanku ke Madrasah.
Terimakasih, karena kau mengajariku abjad-abjad cinta. Terimakasih, karena kau menerimaku sebagai kekasihmu.

Rabu, 16 Agustus 2017

Semacam Coretan di 17 Agusutus

Aku mencintaimu, seperti cintaku pada kampung halaman--- itu sebabnya rinduku padamu takkan pernah selesai. Seperti seruling yang setiap nadanya adalah suara kerinduan untuk kembali pada bambu yang telah melahirkannya.

Kau cantik, seperti bangsa yang telah merdeka. Jika aku masih punya rumah, maka hatimu adalah tempatku untuk pulang. Aku tak sanggup untuk tak mencintaimu, sebab kaulah tanah air yang membuatku merasa kembali lahir.

Kau kampung halamanku-- meski kau sudah dijajah dan dikuasai pihak lain, aku tetap tak bakal mampu melupakanmu. Seperti kampung halaman, rinduku padamu akan tetap tegak dan baka.

Seperti bendera kebangsaan, cintaku padamu berkibaran.

Kamis, 22 Juni 2017

Semacam Coretan

PELAJARAN | 

Kadang-kadang ada masa aneh bagi sebagian orang dalam mempelajari agama dari segi keruhaniannya, yakni saat seseorang lancar berbicara sesuatu yang belum pernah terpikirkannya secara penuh. Si pembicara bahkan  belakangan agak bingung dan bertanya-tanya: mengapa aku tadi bisa berbicara seperti itu?

Dalam perbincangan dari hati ke hati antar dua orang, misalnya, terkadang tercipta semacam 'chemistry' yang aneh. Tanpa ada rencana, mendadak salah satu pihak bisa berbicara panjang lebar tentang suatu topik yang sangat mengena di hati pendengarnya. Tentu umumnya kita akan  berpikir bahwa si pembicara ini lebih paham ketimbang pendengar dalam masalah yang dibicarakan itu. Tetapi tidak jarang kasusnya tidak begitu. Yang terjadi sebaliknya: si pendengar justru sudah lebih dahulu  memahami topik tersebut, namun ia belum menyadarinya. Maka Tuhan menjernihkan pemahaman si pendengar ke dalam kesadaran dan akal-pikirannya melalui lidah si pembicara. Ini berarti pula bahwa si pendengar itu juga mengajari si pembicara secara tidak langsung. Nah sekarang, pertanyaannya: siapa mengajari siapa? Pembicara mengajari pendengar, atau pendengar yang mengajari pembicara?

Boleh dikatakan bahwa kedua-duanya saling mengajari, yang berarti Tuhanlah yang pada hakikatnya mengajari keduanya dengan cara tak terduga. Lalu mungkin engkau berpikir:  si pembicara  beruntung dijadikan perantara dan si pendengar beruntung karena mendapatkan pemahaman tanpa susah-payah mencari-cari sendiri.

Persoalannya lalu: apakah si pembicara boleh merasa senang karena "dipilih" Tuhan untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar dan si pendengar senang karena mendapat keistimewaan diberi petuah atau pelajaran?

Jika si pembicara merasa senang karena alasan itu, maka ia sangat mungkin terjebak ke dalam ujub. Tetapi jika pembicara tidak merasa senang karenanya, berarti ia tidak mensyukuri karunia Tuhan. Ini dilematis.

Tetapi jika pembicara mengembalikan persoalan ini kepada Tuhan dan tidak memikir-mikirkannya lagi, ia bisa bebas dari dilema. "Rasa senangnya" akan berubah menjadi rasa syukur, bukan karena merasa dipilih, tetapi bersyukur karena mendapatkan pelajaran tak terduga melalui kehadiran pendengar, dan bersyukur karena mendapat karunia semacam ini, kemudian mengembalikan segala pujian kepadaNya. Maka ia bebas dari "merasa memiliki,"  bebas dari "merasa istimewa," dan bebas dari "merasa-merasa" lain yang berpotensi membesarkan egonya.

Sedang bagi pendengar, ia akan bebas dari "merasa punya ilmu baru" atau bebas dari “merasa makin pandai dan lebih baik daripada orang lain” jika ia juga mengembalikan urusannya kepada Tuhan. Pendengar akan merasa senang bukan karena merasa makin pandai, namun karena  dibukakan kesadaran oleh Tuhan bahwa dirinya masih banyak tidak tahu, sehingga ia menjadi bersyukur. Rasa syukur itu diwujudkannya dengan berterima kasih kepada Tuhan, kepada si pembicara dan lalu berusaha terus belajar mencari ilmu bukan karena ingin dianggap pintar, namun karena mensyukuri karunia ilahi berupa akal-pikiran dan pengetahuan.

Jadi keduanya tidak punya alasan untuk sombong. Keduanya menjadi punya banyak alasan untuk bersyukur dan takut. Bersyukur karena mendapat pemahaman dari Allah secara tak terduga dan berharap bisa meluruskan niat dan lakunya, sekaligus  takut tidak bisa mengamalkan pemahamannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Lingkaran ini merefleksikan aksioma penting:  "la haula wala quwwata illah billah."  Lalu dari sini muncullah Khauf dan Raja', dua sayap yang, menurut sebagian ahli sufi, akan membawa seseorang terbang lebih dekat ke hadirat Ilahi.

Tuhan sering bekerja dengan cara yang tak terduga  untuk mengajari kebaikan agar kita tidak mengklaim bahwa kita lebih istimewa dan penting daripada orang lain hanya karena kita “merasa” sudah lebih paham, lebih cerdas, lebih baik, lebih alim dan lebih benar.

Wa Allahu a'lam

Senin, 12 Juni 2017

Semacam Coretan

Suatu saat nabi di teras masjid bersama sahabatnya dalam rangka menunggu waktu iktikaf. Kemudian ada pemuda gagah lewat depan masjid menuju perkebunan. Kemudian sahabat nabi ada yang komentar: ‘’alangkah sial orang itu, seumpama tubuhnya yang gagah itu dibuat untuk iktikaf dia akan beruntung. Masa’ gagahnya seperti itu kok kedonyan, mengurusi kebon terus.”

Nabi langsung menoleh dan berkomentar: Jangan ngomong seperti itu. Dia kerja untuk menafkahi keluarganya juga perintah Tuhan. Atau dia kerja karena untuk membelikan makan ibunya juga perintah Tuhan.

Akhirnya sahabat sadar bahwa tidak mereka saja yang sedang melakukan ibadah.

Artinya sesuatu yang sakral bergantung pada yang profan. Solat fardhu itu keharusan, dan untuk bisa solat seseorang harus makan, dan untuk bisa makan seseorang harus bekerja. Artinya bekerja itu juga suatu kewajiban.

Beberapa waktu kemudian, setelah para sahabat rampung iktikaf, jalan-jalan dan bertemu Abu Ayyub al-Ansori yang waktu itu sedang habis dari kebon.

Dan diberilah sahabat-sahabat itu hasil panen kurma. Kok ya ndilalah sahabat yang habis iktikaf itu doyan.

Ada sahabat perempuan yang tiap habis solat terburu-buru pulang karena ingin menyusui anaknya. Sehingga tidak sempat untuk wiridan. Kemudian ada sahabat lainnya yang mengomentari: sungguh celaka orang itu karena tidak pernah wiridan.

Mendengar itu nabi paham dan langsung menukas; Jangan seperti itu. Dia memang tidak wiridan, tapi jangan anggap dia tidak sedang melaksanakan perintah Tuhan. Menyusui anak itu juga bagian dari perintah Tuhan.

Darusan (membaca al-Qur'an secara bergilir) di masjid itu baik. Dan tradisi di desa saya, biasanya orang yang darusan dikirimi jajan dan kopi. Segala jenis gorengan lengkap. Dan yang memberi jajan tersebut pernah ditegur seorang Ustadz; kamu kok gak pernah ikut darusan? Dasar bocah nakal. Kasihan orang tuamu.

Kemudian, teman saya itu kok ndilalah cerdas jawabannya:
‘lha kalau aku ikut darusan yang masak jajan dan membuatkan kopi kamu siapa?”

Ustadznya langsung mak klekep.

Maksudnya kita itu jangan saling vonis. Sesuatu yang sangat akhirat sering kali bergantung pada sesuatu yang sangat duniawi. Orang solat itu butuh pakaian. Dan mereka yang membuat pakaian boleh jadi justru tidak solat. Dan boleh jadi mereka yang membangun masjid; yang menyumbang material dan lainnya itu orang yang justru jarang solat. Dan seterusnya.. Ruwet pokoknya kalau dirinci satu-satu.

Padahal belum lagi bicara soal haji.. siapa yang buat pesawat? Belum lagi bicara soal obat-obatan, belum tentu yang membuat dan meracik obat dari golongan muslim.. Pokoknya jangan GR dulu lah.

Meniru gaya Cak Lontong: Mikiiir. sambil menudingkan telunjuknya di jidat.

Minggu, 11 Juni 2017

Semacam Coretan

TAWASSUL

Wahai jiwa-jiwa suci yang terbang dalam angkasa malakut

Wahai energi-energi abadi yang berenang dalam atmosfir jabarut

Wahai ayat-ayat yang menghiasi dinding-dinding alam lahut

Wahai bukti-bukti yang memadati kisi-kisi lelangit

Wahai peri-peri penabur shalawat dan tasbih yang menggetarkan dedaunan

Wahai desau angin yang sebarkan rintihan munajat di penghujung asa

Wahai rinai-rinai yang lembabkan pipi pendamba sekerat ijabah

wahai anai-anai yang membakar diri dalam ada-Nya

Jangan tanya apa masalahku

Jangan pula meminta pendapatku

Aku kehabisan kata dan tanda baca

Pandu aku yang sempoyongan mengetuk pintu RahmatNya

Biarkan aku bergulung-gulung meraung mengemis ampunanNya

Beri aku sepercik air dari telagaNya

agar aku lenyap

agar aku tak berbatas

agar aku tak ber-aku

Kamis, 01 Juni 2017

Semacam Coretan

Buaanyak sekali kiriman via SMS, via WA, maupun via BBM, yang berisi aduan-aduan dari para Sahabat saya yang berbeda Pandangan satu dengan yang lainnya.

Tujuannya mungkin ingin mengetahui sikap saya, atau berharap saya mendukung sikap mereka ... hahahaha ... jangan harap, karena TIDAK AKAN.

Kepada mereka saya balas dengan 'pertanyaan', yang isinya kurang lebih sama.

Pada yang sebelah 'sana' saya bertanya ;

"sampeyan lagi ngomongin Penista Kitab Suci, apa ngomongin Ahok ?"

Dan pada yang 'seberangnya' saya bertanya ;

"sampeyan lagi ngomongin Toleransi, apa ngomongin Habib Rizieq ?"

sementara saya tetap bebas melayang di awang-awang.

Bagi saya kalau kita tak bisa berbuat banyak demi kebaikan negara dan kebaikan masyarakat, cukuplah kita berjuang agar apa-apa yang keluar dari pikiran, hati lisan dan jemari kita tak menambah perpecahan, kerusakan pikiran, akhlak/moral dan hati. Agar negeri ini tak koyak oleh fitnah dan dusta dan amarah yang siap mengorbankan apa saja demi egoisme golongan dan syahwat kekuasaan, agar kita tak mewariskan kebencian dan dendam yang membuat kita kehilangan anugerah berharga dari Tuhan: rasa kasih sayang  kepada sesama manusia. 

Karena kebanyakan kita lebih sering merasa lebih tahu cara masuk surga ketimbang Tuhan, atau bahkan merasa lebih memahami Tuhan ketimbang Tuhan sendiri. Semisal engkau beriman, tetapi kau memasukkan makanan dan minuman yang diharamkan Tuhan ke dalam perutmu setiap hari; atau mencuri uang rakyat setiap hari, dan kau merasa tetap tak bersalah; atau setidaknya engkau merasa lebih kasih sayang pada sesama dan menganggap Tuhan pasti begini dan begitu karena rahmat dan kasihNya. Atau jika engkau marah-marah dan menghamburkan cacian, menyakiti sesama,  engkau merasa Tuhan pasti meridhoimu. Atau engkau membela kebenaran dengan fitnah dan merasa Tuhan memaklumimu.

Ringkasnya, diam-diam kita merasa Tuhan pasti mengikuti apa mau kita sehingga kita merasa berhak melakukan apapun atas namaNya. Diam-diam kita memberhalakan diri dengan mencatut Tuhan. Kita lalu seolah berdoa dan minta pertolongan namun hati kita diam-diam menuntut Tuhan untuk mengikuti dan menuruti apa mau kita, seolah-olah hanya kitalah yang pantas berdoa dan pantas dikabulkan keinginan dan ambisi kita.

Lalu,  jika keinginan dan ambisi kita ternyata tak terpenuhi, kita marah-marah, mengancam orang lain, mengkafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain, karena kita tak bisa memaksa Tuhan untuk menuruti keinginan kita. Kita jadikan sesama sebagai pelampiasan kemarahan karena kita tak bisa marah-marah dan menyuruh Tuhan patuh pada diri kita.  Maka kita bertindak seolah sebagai panitia seleksi masuk surga dengan menggunakan kriteria menurut tafsiran kita sendiri sebagai tolok ukurnya.

Barangkali, ya barangkali, kita lupa untuk memantaskan diri sebagai hamba sebelum menghakimi orang lain. Kita mungkin lupa bahwa setiap hari kita lebih sering mendengarkan hawa nafsu kita sendiri, memuji golongan kita sendiri. Kita berdoa tidak dengan kerendahan hati namun dengan keinginan memaksa, dengan perasaan pongah, dan ingin dituruti tanpa peduli bahwa ada banyak orang lain yang bisa berdoa dengan harapan berbeda dari kita dan mungkin lebih tulus dan tawadhu daripada doa dan hati kita.

Karena itu ulama yang mendalam ilmunya dulu mengajarkan cara menata hati, adab berdoa, adab memuji dan bertawadhu, dihadapan Allah. Salah satunya dengan istighosah. Jika kita menyimak istighosah menurut para Wali Allah itu, akan terasa atsarnya. Mereka sedang dididik dan mendidik diri untuk memperbaiki akhlak kepada Tuhan dan kepada sesama. Dengan harapan kelak Allah berkenan mengakui kehambaan, bukan memaksa Allah menuruti keinginan. Harapan dan keinginan adalah sekunder, karena Allaah lebih tahu apa yang paling baik bagi hambaNya. Yang primer adalah bagaimana permohonan kita menjadi wasilah untuk menjadi hambaNya sesuai kehendakNya. Kita mengaku lemah sebagai manusia dan karena itu kita akan senantiasa berusaha, meminjam adagium Gus Mus,  memanusiakan manusia, agar kuat bersama-sama tanpa saling merasa lebih unggul daripada yang lain. Semoga.

Selamat Hari Lahir Pancasila
Saya INDONESIA.