Buaanyak sekali kiriman via SMS, via WA, maupun via BBM, yang berisi aduan-aduan dari para Sahabat saya yang berbeda Pandangan satu dengan yang lainnya.
Tujuannya mungkin ingin mengetahui sikap saya, atau berharap saya mendukung sikap mereka ... hahahaha ... jangan harap, karena TIDAK AKAN.
Kepada mereka saya balas dengan 'pertanyaan', yang isinya kurang lebih sama.
Pada yang sebelah 'sana' saya bertanya ;
"sampeyan lagi ngomongin Penista Kitab Suci, apa ngomongin Ahok ?"
Dan pada yang 'seberangnya' saya bertanya ;
"sampeyan lagi ngomongin Toleransi, apa ngomongin Habib Rizieq ?"
sementara saya tetap bebas melayang di awang-awang.
Bagi saya kalau kita tak bisa berbuat banyak demi kebaikan negara dan kebaikan masyarakat, cukuplah kita berjuang agar apa-apa yang keluar dari pikiran, hati lisan dan jemari kita tak menambah perpecahan, kerusakan pikiran, akhlak/moral dan hati. Agar negeri ini tak koyak oleh fitnah dan dusta dan amarah yang siap mengorbankan apa saja demi egoisme golongan dan syahwat kekuasaan, agar kita tak mewariskan kebencian dan dendam yang membuat kita kehilangan anugerah berharga dari Tuhan: rasa kasih sayang kepada sesama manusia.
Karena kebanyakan kita lebih sering merasa lebih tahu cara masuk surga ketimbang Tuhan, atau bahkan merasa lebih memahami Tuhan ketimbang Tuhan sendiri. Semisal engkau beriman, tetapi kau memasukkan makanan dan minuman yang diharamkan Tuhan ke dalam perutmu setiap hari; atau mencuri uang rakyat setiap hari, dan kau merasa tetap tak bersalah; atau setidaknya engkau merasa lebih kasih sayang pada sesama dan menganggap Tuhan pasti begini dan begitu karena rahmat dan kasihNya. Atau jika engkau marah-marah dan menghamburkan cacian, menyakiti sesama, engkau merasa Tuhan pasti meridhoimu. Atau engkau membela kebenaran dengan fitnah dan merasa Tuhan memaklumimu.
Ringkasnya, diam-diam kita merasa Tuhan pasti mengikuti apa mau kita sehingga kita merasa berhak melakukan apapun atas namaNya. Diam-diam kita memberhalakan diri dengan mencatut Tuhan. Kita lalu seolah berdoa dan minta pertolongan namun hati kita diam-diam menuntut Tuhan untuk mengikuti dan menuruti apa mau kita, seolah-olah hanya kitalah yang pantas berdoa dan pantas dikabulkan keinginan dan ambisi kita.
Lalu, jika keinginan dan ambisi kita ternyata tak terpenuhi, kita marah-marah, mengancam orang lain, mengkafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain, karena kita tak bisa memaksa Tuhan untuk menuruti keinginan kita. Kita jadikan sesama sebagai pelampiasan kemarahan karena kita tak bisa marah-marah dan menyuruh Tuhan patuh pada diri kita. Maka kita bertindak seolah sebagai panitia seleksi masuk surga dengan menggunakan kriteria menurut tafsiran kita sendiri sebagai tolok ukurnya.
Barangkali, ya barangkali, kita lupa untuk memantaskan diri sebagai hamba sebelum menghakimi orang lain. Kita mungkin lupa bahwa setiap hari kita lebih sering mendengarkan hawa nafsu kita sendiri, memuji golongan kita sendiri. Kita berdoa tidak dengan kerendahan hati namun dengan keinginan memaksa, dengan perasaan pongah, dan ingin dituruti tanpa peduli bahwa ada banyak orang lain yang bisa berdoa dengan harapan berbeda dari kita dan mungkin lebih tulus dan tawadhu daripada doa dan hati kita.
Karena itu ulama yang mendalam ilmunya dulu mengajarkan cara menata hati, adab berdoa, adab memuji dan bertawadhu, dihadapan Allah. Salah satunya dengan istighosah. Jika kita menyimak istighosah menurut para Wali Allah itu, akan terasa atsarnya. Mereka sedang dididik dan mendidik diri untuk memperbaiki akhlak kepada Tuhan dan kepada sesama. Dengan harapan kelak Allah berkenan mengakui kehambaan, bukan memaksa Allah menuruti keinginan. Harapan dan keinginan adalah sekunder, karena Allaah lebih tahu apa yang paling baik bagi hambaNya. Yang primer adalah bagaimana permohonan kita menjadi wasilah untuk menjadi hambaNya sesuai kehendakNya. Kita mengaku lemah sebagai manusia dan karena itu kita akan senantiasa berusaha, meminjam adagium Gus Mus, memanusiakan manusia, agar kuat bersama-sama tanpa saling merasa lebih unggul daripada yang lain. Semoga.
Selamat Hari Lahir Pancasila
Saya INDONESIA.