Senin, 15 Mei 2017

Semacam Coretan


Tuhan yang lebih patut dicintai pun tahu kalau aku banting-tulang mencintaimu, Tuhan tak marah cintaku mengacu padamu, sebab Tuhanlah yang menciptakan Cinta ini. Tuhan tak geram cintaku padamu mengambil-alih cintaku padaNya, sebab Tuhan ingin aku mempersiapkan cintaku padaNya dengan cara aku mencintaimu, atau Tuhan tengah mengajariku dengan cara mencintaimu lebih dulu agar nanti pada saatnya cintaku padaNya telah benar-benar pantas.

Tentu saja, saya mencintai Tuhan dengan cara mencintaimu. Tuhan---sekali lagi, tidak marah, bahkan akan senang melihat aku mencintai makhluk yang mencintai Tuhannya.

Toh, jika Tuhan maha indah dan mencintai keindahan, apakah salah jika kemudian aku mencintaimu?

Dalam sebuah sabda terdapat ungkapan begini: Man arofa nafsahu, Arofa Robbahu--- dengan kata lain, Barangsiapa mengenal diri sendiri, ia akan mengenal Tuhannya.

Bagaimana jika kemudian aku mengenal diriku sendiri setelah aku mengenalmu? Apakah berlebihan kalau akhirnya aku Menemukan diriku ada pada dirimu? 

Tuhan memberi peluang bagi hambanya untuk mengenal wujudNya melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui pengenalan Diri sendiri. Tahukah kau, setelah mengenal dan bertemu denganmu, aku tak menemukan diriku sendiri kecuali Aku Fana dalam dirimu. 

Itu artinya, Untuk bisa mengenal Tuhan, aku mesti lebih dulu mengenalmu. Agar aku bisa mengenal Tuhan, aku harus lebih dulu menjadi Dirimu, Kekasih.

Minggu, 14 Mei 2017

Semacam Coretan

Kadang-kadang aku memilih Kesendirian itu justru untuk menolak sepi. Kesendirian itu bukan semata-mata barang misalnya mengurung diri di kamar atau menyepi di tempat yang jauh dari keramaian. Namun kesendirian aktiv sebagai pintu masuk Menyambut Liyan. Dan sebaliknya, Liyan bukan berarti selalu dalam bentuk seseorang. Liyan bisa berarti, misal; kenangan.

Tapi kesendirian juga yang menyebabkan aku sering menaruh curiga dan sekaligus menakar kehendak Tuhan. Seperti ini misalnya; Jangan-jangan Tuhan menciptakan Kopi itu agar aku dapat merasakan kepahitan seorang pecinta yang tak diakui. Kesendirian juga yang memicu pikiranku untuk menduga-duga kehendak Tuhan; jangan-jangan Tuhan menciptakan Perpisahan agar seorang pecinta bisa menerjemahkan kegetiran ke dalam puisi.

Itu yang melatari mengapa aku sekali tempo begitu kuat ingin "Manjing Kahanan" ke dalam kesendirian. Sebab di situ aku bisa mengadakan komunikasi denganmu melalui ingatan-ingatan dan doa. Dan, sudah, begitu saja.

Rabu, 03 Mei 2017

Semacam Coretan

Dengan menyebut nama cinta, yang dengannya Manusia dapat merasakan Tuhan hadir dalam setiap desir. Aku berlindung dari kebencian dan dendam yang menjerumuskan.

Alif laam miim. Cinta itu, tidak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi mereka yang setia melaksanakan perintah kekasihnya. Yaitu mereka yang mempercayai kenangan, menegakkan rindu, dan menyerahkan hatinya.

Airmata adalah konsekuensi rindu, sementara menangis adalah pengakuan atas cinta.

Hari ini adalah Hari Besar Kenangan. Hari untuk pulang; ke hatimu. Aku harus mengadakan perayaan untuk menghormati jasa-jasa Kenangan. Setidaknya karena Kenangan, telah memberi banyak uluran tangan untuk menyelamatkan karunia yang tak diakui. Karena dengan demikian, aku bisa menyampaikan rasa syukurku kepada Tuhan. Ya, aku akan melangsungkan ritual untuk memperingati Hari Besar ini dengan cara mengisahkan cerita kita, semata agar semua makhluk tahu bahwa cintaku padamu. Lebih luas ketimbang kesepian.

Kau dilahirkan ke muka bumi ini tentu ada banyak tujuan, salah satunya agar aku dapat menyaksikan keindahan, karena dengan itu dapat kutemukan jalan untuk mengenal Tuhan. Maka mencintaimu, adalah pintu masuk untuk sampai ke dalam Tuhan.

Maka demi mempertanggung-jawabkan kenanganku kepadamu di hadapan semesta, di Hari Besar Kenangan ini, aku telah mengangkat sumpah untuk senantiasa memperjuangkan kenanganku padanya, dengan cara menuliskannya ke dalam cerita:

Sebelum senja yang suci itu, seluruh pusaran waktuku terasa begitu suwung, detik demi detik kulalui seperti mayat yang terapung. Mengalir saja, bahwa nasibku tergantung keputusan arah arus sungai kehidupan. Diriku seperti dilepas ke tengah-tengah takdir. Perjalanan itu benar-benar gaib. Bahkan, saudara tahu. Aku hidup dalam keadaan mati roso. Mati roso itu barang misalnya sudah tak lagi sanggup merasakan kebahagiaan atau penderitaan. Seperti paceklik yang abadi itu.

Hingga akhirnya datang hari itu--- Muara tempat arus sungai perjalananku menemukan maknanya. Di senja yang keramat itu aku sampai pada satu titik dimana Tuhan menampakkan wujudnya. Aku merasa itu adalah isyarat bahwa akan ada kejadian di kedalaman diriku. Ya, Tuhan menampakkan senyumNya melalui bibirmu. Tuhan memberi anugerah kepadaku dalam bentuk bahwa aku dapat melihat semua keindahan di muka bumi ini cukup dengan melihat wajahmu.

 

: ke haribaanmu

Kulipat kertas yang berisi semua tentangmu dan kuserahkan kepada laut. Nampaknya ia sudah mafhum untuk siapa kertas itu dan kemana ia harus mengantarkan. Sebab, saudara tahu. Hanya laut itulah satu-satunya makhluk yang dapat memahami airmataku.

Aku mencintainya semata karena tunduk pada nurani, sebab apapun yang diputuskan oleh nurani adalah mandat dari takdir. Bagaimana aku dapat menghindar dari sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan, sementara tak ada sehela saja dari nafasku yang keluar dari perhitunganNya? Saudara boleh membilang ganjil karena aku baru melihat wajahnya selintas, itu pun sudah terlampau purba. Kalau akhirnya cintaku kepadanya diadili dan digugat oleh seluruh penghuni semesta, biar Tuhan sendiri yang turun tangan, karena aku yakin bahwa Dalang akan bertanggung jawab atas lakon wayang yang ia gelar di pertunjukan.

Terbilang musykil karena sesungguhnya Ia sama sekali tak pernah tau lelakon perasaanku. Saudara tahu, setiap kali kangenku padanya memuncak, betapa cukup bagiku memandang rumahnya dari jarak kejauhan. Aku bahkan sering membayangkan betapa bahagia atap rumahnya yang bisa menaunginya dari hujan dan kepanasan, betapa senang dinding rumahnya yang dapat melindunginya dari kedinginan. Betapa, Oh, Betapa… Lantai rumahnya pasti merasa beruntung karena bisa dibuat alas untuk kakinya. Barangkali, matahari yang terbit setiap pagi itu dalam rangka takzim atas keluhuran dirinya, dipancarkannya cahaya matanya ke pusat kehormatan malam dan menjadikan bulan menemukan maknanya. Betapa rinduku mengembara dari bintang ke bintang.

Dimasa yang sudah berlalu tanpa kesudahan itu selama dua dasawarsa aku tak habis-habisnya memujanya sebagai penegasan jati diri seorang pecinta;
“ kekasih… Inilah aku, lelaki yang selama dua puluh tahun mempunyai cita-cita hanya untuk memandang wajahmu. Kini, di senja yang nirmala ini, cita-cita itu telah tercapai. Aku tak berharap ingin memilikimu, sebab aku mencintaimu bukan untuk ingin menguasaimu. Cintaku padamu,kinasih, semata-mata adalah bagian dari darma, dan mencintaimu, kinasih. hanya untuk melaksanakan takdirku. Kau tahu, selama ini aku menghamba dengan cara memperjuangkan cinta. Hanya untuk mencintaimu. Setiap kali aku lalai akan Tuhanku, yang kuingat cuma wajahmu, hanya wajahmu belaka yang membayang jauh ke dalam batinku”. Kusampaikan kata-kata itu sembari memandang sang rembulan. Bukan, itu bukan kata-kataku, itu adalah hyang wisesa yang berbicara melalui mulutku.

Aku tak berharap ingin memilikimu, sebab aku mencintaimu bukan untuk ingin menguasaimu. Cintaku padamu,kinasih, semata-mata adalah bagian dari darma, dan mencintaimu, kinasih. hanya untuk melaksanakan takdirku.
bahwa takdir mengizinkanku hanya untuk mencintaimu, tidak untuk hidup bersamamu dan bahwa semesta menyetujui meski mati, jiwaku tetap diperkenankan untuk mencintaimu, hanya dirimu. Semata-mata cintaku menghadap ke haribaanmu.

--2014--