Rabu, 23 Oktober 2013

Pelajaran Hikmah Part.7



Abu Yazid al Bisthami lahir pada tahun 874 M adalah seorang Persia, berasal dari Bistham, wilayah Qum, di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai guru di sana. Dia adalah seorang asketik yang menyendiri dengan satu tujuan, yakni mengejar pengalaman tentang hakikat Ilahi. Dia banyak dikutip oleh penulis-penulis selanjutnya dan memiliki pengaruh yang luas terhadap perkembangan sufisme, khusunya yang mengarah pada doktrin panteistis. Ia disebut-sebut sebagai guru sufi yang pertama kali mengajarkan faham fana' dan baqa. Pengalaman Abu Yazid yang ucapannya (pada saat sukr) kadang-kadang sulit dipahami oleh orang awam, menyebabkan sebagian ulama menentangnya. Berikut ini beberapa ujaran Abu Yazid :
Awalnya aku melakukan empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk mengingat Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di ujung perjalanan, aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama ada sebelum cintaku kepada-Nya dan Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Ketika aku tertidur, tampak bagiku telah kudaki langit untuk mencari Tuhan, mencari kemanggulan Tuhan Yang Maha Mulia, sehingga aku bisa bersemayam bersama-Nya untuk selamanya, dan aku diuji dengan satu cobaan. Tuhan memperlihatkan semua jenis hadiah dan menawariku penguasaan seluruh semesta langit. Tetapi aku palingkan mataku, karena aku tahu bahwa Dia sedang mengujiku, dan aku sama sekali tidak melihatnya, karena takzimku kepada kesucian Tuhanku.
Kemudian aku mendaki Langit Kedua dan melihat malaikat-malaikat bersayap, yang terbang ratusan ribu kali setiap harinya ke bumi, untuk mengamati wali-wali Tuhan, dan wajah-wajah mereka bersinar laksana matahari. Kuteruskan perjalanan, dan ketika sampai ke Langkit Ketujuh, seseorang menyentakku, "Wahai Abu Yazid, berhenti, karena kau telah sampai pada tujuanmu." Tetapi aku tak menghiraukan kata-katanya dan meneruskan pengembaraanku.
Ketika Tuhan Yang Maha Tinggi merasakan sentuhan ketulusan hasrat jiwaku kepada-Nya, Dia mengubahku menjadi seekor burung, dan aku pun terbang melewati kerajaan demi kerajaan, gurun demi gurun, dan daratan demi daratan, lautan demi lautan, dan selubung demi selubung, sampai akhirnya menyaksikan malaikat di kaki Tuhan menemuiku dengan seberkas cahaya dan berkata kepadaku, "Ambillah," dan aku mengambilnya. Dan demikianlah, langit-langit dan semua yang ada di sana mencari perlindungan dalam teduh bayang ma'rifatku, dan mencari cahaya dalam cahaya kerinduanku.
Aku melanjutkan penerbanganku sampai aku tiba di atas samudera cahaya, lalu kulanjutkan lagi hingga aku meraih samudera terbesar yang di atasnya berdiri Singgasana Yang Maha Pengampun. Dan ketika Tuhan Yang Maha Agung melihat ketulusanku mencarinya, Dia mendekatiku dan berkata, "Wahai manusia pilihan-Ku, mendekatlah ke arah-Ku dan dakilah ketinggian kemuliaan-Ku dan daratan kemegahan-Ku dan duduklah di atas karpet kesucian-Ku, agar kau bisa menyaksikan karya keagungan-Ku.
Kemudian aku mulai meleleh, seperti timah meleleh dalam panasnya bara. Kemudian Dia memberiku minuman dari sumber Keagungan dalam cangkir keintiman dan mengubahku ke dalam keadaan yang tak tergambarkan dan membawaku mendekat kepada-Nya, sedemikian dekatnya sehingga aku menjadi lebih dekat dengan-Nya daripada ruh dalam tubuhku sendiri. Aku terus berlanjut bahkan sampai aku menjadi jiwa-jiwa manusia sebelumnya, sebelum adanya keberadaan dan Tuhan berdiam dalam kesendirian yang sunyi, tanpa makhluk ciptaan atau ruang, Maha Suci Allah lagi Maha Mulia

Pelajaran Hikmah Part.6

Muhiyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (1165-1240) atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi adalah seorang sufi amat terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi adalah keturunan Arab kuno dan ayahnya Ali ibn al-'Arabi adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan berpengaruh. Ibnu Arabi adalah guru sufi yang terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Menurutnya, keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Awal dari ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) adalah diangkatnya selubung, dan hadirnya kesepahaman, serta perenungan pada yang tak kasat mata, dan percakapan rahasia, dan memandang yang tidak ada, dan ini berarti kau telah beranjak dari tempat asalmu.
Ekstase adalah persinggahan pertama bagi kaum pilihan dan ia adalah warisan kepastian dari hasrat, dan bagi mereka yang telah mengalaminya, ketika cahayanya telah tersebar luas ke penjuru kalbu, semua keraguan dan kecurigaan meninggalkan mereka. Siapa yang terselimuti dari ekstase dan dikuasai oleh keakuannya sendiri, terhalang oleh kehidupan dan oleh maksud-maksud duniawi, karena keakuan terselubung oleh maksud-maksud semacam ini. Tetapi jika maksud-maksud duniawi dihilangkan dan pengabdian diri kepada Tuhan disucikan dari kepentingan pribadi dan kalbu kembali dimurnikan dan disucikan serta mengindahkan peringatan, ketika kalbu menyembah Tuhan dan mengutarakan doa-doanya dalam percakapan intim dengan-Nya, semakin dekatlah dia ke arah-Nya. Dia berbicara kepadanya dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ekstase di dunia ini tidak berasal dari penyingkapan, tapi dari penglihatan kalbu dan kesadaran akan kebenaran dan keyakinan, dan siapa yang telah mengejarnya menyaksikan dengan luapan kegembiraan dan dengan pengabdian yang bebas hawa nafsu. Ketika ia terjaga dari penglihatan itu, dia kehilangan apa yang telah dia temukan, tapi pengetahuannya masih bersamanya, dan untuk waktu yang lama, ruhnya menikmatinya.
Jika seseorang meminta penjabaran lebih lanjut tentang ekstase, suruhlah dia berhenti menanyakannya, sebab bagaimana mungkin sesuatu dapat dijabarkan jika ia tidak memiliki penjelasan kecuali dirinya sendiri, dan tiada kesaksian kecuali dirinya. Siapa yang bertanya tentang aroma dan rasasanya berarti bertanya tentang kemustahilan, sebab aroma dan rasa tidak dikenal dengan penjabaran, melainkan dengan mengecap dan mengalaminya.

Pelajaran Hikmah Part.5

Raja Burung Seperti Burung Juga

 
Dalam kitab Musyawarah Burung (Mantiqu’t Thair) mahakarya Fariduddin Attar, seorang guru sufi Persia abad ke-12, diceriterakan tentang berkumpulnya segala jenis burung menyelenggarakan musyawarah. Makhluk bersayap ini sadar bahwa ternyata kerajaan burung tak memiliki raja. Padahal tegaknya pemerintahan suatu negeri tergantung kepemimpinan sang raja. Hal ini sungguh menggelisahkan para burung.
Lalu tampillah Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman, memimpin mereka. “Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan,” kata Hudhud di tengah majelis. Ia bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai raja sejati, Simurgh namanya, tinggal di balik gunung Kaf. Ia raja segala burung. Raja burung yang perkasa ini dekat dengan mereka, tapi mereka jauh darinya. Tempat persemayamnya tak dapat dicapai karena jalan menujunya tidak dikenal, dan tak ada yang berteguh hati mencarinya, meskipun ribuan makhluk melewatkan hidupnya dalam kerinduan. Ia bermandikan kesempurnaan, keagungan, dan kesucian. Di muka Simurgh tergantung seratus ribu tabir cahaya dan kegelapan. Ia tak menampakkan diri sepenuhnya meski di tempat persemayamannya sendiri, bahkan jiwa yang paling suci pun tak dapat melukiskannya, dan akal budi tak pula dapat memahami.
Uraian Hudhud memikat majelis burung. Dengan penuh semangat, majelis membicarakan keagungan raja mereka. Lalu mereka tak sabar lagi, ingin segera berangkat bersama-sama mencarinya. Tapi ketika menyadari betapa jauh dan sulitnya perjalanan yang akan ditempuh, banyak yang jadi ragu. Mereka mengurungkan niat berangkat dengan dalihnya masing-masing. Bulbul, misalnya, tak mungkin meninggalkan tempat karena begitu besar hasratnya untuk menyanyikan senandung cinta. Merak dan burung Hantu enggan meninggalkan harta dan kemewahannya. Rajawali tak ingin melewatkan kegembiraan melayani raja maupun berburu menurut kesukaannya. Burung Gereja mengeluhkan keadaan fisiknya yang lemah. Itik dan bangau sudah merasa puas di permukaan air. Namun, akhirnya Hudhud mampu meyakinkan mereka.
Perjalanan menuju Simurgh satu-satunya tujuan dalam hidup, meski amat sukar ditempuh karena melewati tujuh lembah, yakni lembah pencarian, lembah cinta, lembah keinsyafan, lembah kebebasan dan keterlepasan, lembah keesaan, lembah keheranan dan kebingungan, lembah keterampasan dan kematian. Hanya dengan cinta dan penyerahan diri segala kesulitan dapat diatasi. Mereka pun berangkat.
Ribuan burung tidak berhasil sampai di tujuan akhir perjalanan, sebagian mati kehausan atau dimangsa harimau, sebagian tersesat di hutan dan di gunung, sebagian lagi letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Akhirnya tinggal 30 ekor saja yang sampai di istana Simurgh. Dan ketika tabir demi tabir dibuka dan mereka bertatap muka dengan Sang Raja, mereka pun takjub dengan pemandangan yang dilihatnya. Ternyata mereka tak berbeda dengan-Nya. Tiga puluh (si-murgh) burung adalah Simurgh, dan Simurgh adalah tiga puluh burung itu sendiri

Selasa, 22 Oktober 2013

Mendengarkan lagu Boyce Avenue dalam alur yang sedikit berbeda

 Mendengarkan Lagu Broken Angel - Boyce Avenue



Disela sela waktu yang begitu menyesakan dada tidak sengaja saya menemukan lagu ini ditengah deretan daftar lagu yang banyak mengisi daftar putar handphoneku entah perasaan apa yang membuat saya tiba tiba  begitu ingin mendengarnya,diluar dari alasan karena saya dibuatnya penasaran oleh judul dri lagu ini  "Broken Angel" apa yang dialami malaikat ini pikirku sambil terus memperhatikan makna dlam setiap bait kata katanya,
bait pertama kupikir lagu ini tentang seseorang yang mencintai dengan diam-diam, cinta yang tulus yang rela cintanya bahagia dengan orang lain, dan tidak rela jika ia disakiti pasangannya. Ternyata aku salah. Lagu ini memang tentang hubungan segi tiga, tapi bukan sebagai kekasih, melainkan seorang pemuda yang tinggal bertetangga dengan gadis yang disayanginya, yang sedang berjuang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Kita simak aja yuk….

You showed him all the best of you
But I'm afraid your best
Wasn't good enough
And know he never wanted you

Kau berdandan cantik hari itu. Aku saja sampai terkesima melihatmu. Kau mengetuk pintu rumah di depan rumahku. Aku tahu dari bahasa tubuhmu bahwa kau ragu. Sorot matamu yang memandangi pintu dengan penuh harap, membuatku penasaran siapakah dirimu.
Lelaki itu keluar. Aku sudah melihatnya tinggal di sana bertahun-tahun, tapi aku tak benar-benar mengenalnya. Kernyitan di dahinya memberi petunjuk padaku bahwa dia tidak mengenalmu. Lalu kulihat, dia sepertinya membentakmu, menuding-nuding dirimu, dan menutup pintu meninggalkanmu termangu. Dia sama sekali tidak terkesima dengan pesonamu. Aku jadi ingin tahu, siapakah dirimu.
Lama setelah kejadian hari itu, aku melihatmu sudah tinggal di sana, dan kau memperkenalkan dirimu sebagai anak dari lelaki itu. Aku tidak ingin tanya bagaimana ceritanya, kecuali kau mau bercerita sendiri padaku. Kita jadi dekat akhir-akhir ini, tapi kau tetap tidak mau berbagi alasan mengapa matamu selalu berkaca-kaca tiap kali berpapasan dengan ayahmu. Dia juga selalu menghindarimu, seolah kau ini lalat yang harus selalu disingkirkan. Aku tahu dia mendengarmu saat kau memanggil namanya, tapi dia tak menggubrismu. Dan selama itu, kau hanya menerimanya begitu saja.

At least not the way
You wanted yourself to be loved
And you feel like you were a mistake
He's not worth all those tears that won't go away

Kau selalu baik padanya meski dia mengacuhkanmu. Kau tetap menyapanya, memanggilnya ayah meski dia berulang kali melarangmu begitu, bahkan memukulimu. Kau memasak untuknya,meski kemudian ia lemparkan ke keranjang sampah di belakang rumah, dan kau hanya menangis dari jendela. Kau terus berusaha membuatnya merasa nyaman meski tak digubris bahkan dikasari. Kau perempuan baik, kenapa tak pergi saja dari situ?

I wish you could see that
Still you try to impress him
But he never will listen

Kulihat kau tahu bahwa dia sengaja melakukannya untuk membuatmu terluka dan menyingkir dari hidupnya. Tapi kau bertahan. Kau terus mencoba membuatnya menyadari kehadiranmu, dalam arti positif, mengakuimu sebagai putrinya dan berbuat baik padamu.

Oh broken angel
Were you sad when he crushed all your dreams
Oh broken angel
Inside you're dying 'cause you can't believe

Sayangku (entah mengapa aku tiba-tiba menyayangimu), bukankah kau terluka tiap hari karenanya? Bukankah dia selalu mengikis harapanmu? Aku tahu kau hanya pura-pura kuat karena kau yakin sosok ayah yang diceritakan padamu tidak sekejam itu. Kau bertahan mempercayai kebaikannya akan muncul suatu saat nanti. Tapi, aku juga tahu kau merana dalam hati karena kenyataan yang kau hadapi tak seperti yang kau yakini.

And now you've grown up
With this notion that you were to blame
And you seem so strong sometimes
But I know that you still feel the same
As that little girl who shined like an angel
Even after his lazy heart put you through hell

Aku melihatmu setiap hari, menyaksikan kau tumbuh semakin dewasa, semakin bertambah cantik dan matang menghadapi dunia. Ayahmu semakin terpuruk sepertinya. Ia sering kulihat pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, atau membawa perempuan-perempuan yang tawanya memuakkan. Kau akan menyingkir ke rumahku jika ia mulai kasar padamu. Kau tetap tersenyum, meski aku tahu kau terluka. Berkali-kali kau bilang bahwa ayahmu jadi pemabuk setelah ada dirimu di rumah itu. Aku selalu meyakinkanmu, tidak, Sayangku, bukan salahmu kalau ayahmu menghancurkan dirinya sendiri. Kau tetap tersenyum dan menanamkan sendiri di otakmu bahwa pasti ada sesuatu yang mendasari kebencian ayahmu padamu, dan kau tidak berani menanyakannya, dan ayahmu pun tak mau repot-repot menjelaskan padamu. Aku tidak bisa memperbaiki hal itu, Sayangku. Aku hanya bisa menghiburmu.

He would leave you alone
And leave you so cold
When you were his daughter
But the blood in your veins
As you carry his name
Turns thinner than water
You're just a broken angel

Aku melihat kau bekerja setiap hari, membeli makanan seadanya, berpakaian sekedarnya. Saat kau kecil  dulu, kau tak pernah membawa uang saku atau bekal ke sekolah. Kau mencuci bajumu sendiri, memasak sendiri, semua kau kerjakan sendiri. Bertahun-tahun, tak sekalipun ayahmu mengajakmu mengobrol. Hanya makian yang ia keluarkan jika ingin bersuara di hadapanmu. Kau pasti sedih sekali. Tapi kau kuat, karena bagaimanapun, hanya dia keluargamu.

And I promise that it's not your fault
It was never your fault
And I promise that it's not your fault
It was never your fault...

Bukan salahmu lahir ke dunia ini. Bukan salahmu kehilangan ibumu dan harus mengemis pada ayahmu. Bukan salahmu pula kalau kau malah menyayangi lelaki kasar itu. Kau tidak bisa memilih takdirmu. Jadi, jalani saja, bersabarlah sampai sinar kebahagiaan menyambutmu. Setidaknya, kau tidak sendirian di dunia ini.

Kamis, 10 Oktober 2013

Rumah Untuk Ibu



Ibu, ingin sekali kusampaikan pada air matamu
bahwa anakmu tidak hilang di belantara
masih kuingat jalan anak sungai
yang sempat menuntunku ke pintu masjid
sekarang, ketika genap kepalaku
saatnya kucari dan kubangun rumah untukmu
minimal, aku bisa menautkan engkau
dengan yang mampu menggendongmu
ke tempat yang semestinya ibu

Duh Ibu, terkadang bayang-bayang serupa jahanam
mengekor di kepalaku yang baru saja lengkap
ia menari-nari, bahkan sesekali mangajakku berdansa
lantas menjelma belati yang teracungkan ke arahmu
belati itu membunuhku sebelum akhirnya menusuk perut
yang lama menjadi rumahku

Duh Ibu, malam-malam selalu saja diselimuti kegelisahan
sebelum ketakutan menjadi bayang-bayang pagi
terselip di sela-sela ruang tubuhku
gambar-gambar jelaga
dari api yang menjilat tubuhmu

Ibu, bagaimana jika anakmu ini justru yang membangun
rumah untukmu di atas api? seraya merobohkan
rumah yang kau bangun di antara bunga-bunga taman
Oh, Ibu
Jahanam itu
Jelaga itu
api itu
Oh...
Ibu

sebab itu Ibu, selalu
ketika tidak ada lagi mampu
kudoakan seperti yang pernah kau ajarkan
lewat senyuman, lewat air mata dan lainnya
bahkan ketika kota-kota telah memenjara
Ibu, anakmu tidak hilang di belantara
aku sedang membangun rumah untukmu
dengan doa-doa yang engkau panjatkan

2013

Pelajaran Hikmah part.4

SIFAT ORANG ARIF …. MENUJU ALLAH

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya.

Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka.
Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”

“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam.
Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya.

Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna. Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.” Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”

Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.” Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”

Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.

Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah).

Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan).

Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak.

Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”

Menikmati Kehilangan

 BUNGA LELAYU

aku selalu bertanya-tanya;
mengapa air mata menetes
ketika bunga-bunga ditabur di gundukan tanah

aku selalu bertanya-tanya;
mengapa bunga-bunga ditabur
mengiringi air yang keluar dari sembunyi

aku selalu bertanya-tanya;
apakah benar, kehilangan itu menyakitkan?
tetapi kenapa ada bunga?
apakah benar, kehilangan itu menyedihkan?
tetapi kenapa tak menangis
ketika mata menangis?

aku selau bertanya-tanya;
di atas makamku sendiri
kulihat semburat ibu
berwajah ungu

pelan-pelan aku menuju ibu
cepat-cepat ibu menuju aku
sejengkal-selangkah
selangkah-sepuluh
sepuluh-lari
lari-ia di nadi

kenapa kau selalu bertanya?
sebab aku mencari jawab
kenapa kau mencari
aku rindu
kenapa rindu?

aura ungu berkelebat di dada
Ibu, apakah benar kehilangan
menyakitkan dada
apa mungkin sebab kepala
yang terlampau jauh dari dada
atau mungkin sebab kita manusia?

tetapi Langit menangis,
awan mendung
tanah kerontang
hawa sumuk
air kering

apakah mereka juga tahu
bahwa kehilangan itu benar-benar pilu
ah, ibu

2013

Pelajaran Hikmah part.3


silahturahmi ruhiah dengan habib munzir rahimallahu alaihi..

.....

RASULULLAH SAW. SELALU ADA DI SAMPINGMU WALAU TAK JUMPA DALAM MIMPIMU


“Kisah Perjumpaan Al-Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa dengan Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Madinah)”

Kalau bukan karena ingin menyemangati, saya tak akan menjawabnya. Ruh beliau Saw. senantiasa hadir dalam majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Banyak para jamaah bermimpi melihat Ahlul Badr, Ahlul Uhud, para wali masa lalu, bahkan para nabi, hadir di majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Ruh Rasul Saw. sudah ada sebelum 1 orang pun sampai dan tidak keluar sebelum tak tersisa 1 orang pun.

Ketika saya sudah lama bertahun-tahun tidak jumpa dengan al-Habib Zein bin Smith Madinah, karena beberapa kali beliau ke Indonesia saya tak sempat jumpa, maka ketika jumpa saya tertunduk-tunduk mencium tangan beliau. Maka al-Habib Zein dengan santainya berkata: “Ahlan wahai Mundzir.”

Saya berkata: “Wahai Habibana Zein, bagaimana Habib masih kenal nama saya padahal saya lama tak jumpa Habibana?”

Beliau menjawab: “Bagaimana aku lupa namamu, kau tiap malam ada di hadirat Rasulullah Saw.”

Hampir saya jatuh pingsan mendengar ucapan itu, dan beliau dengan santainya pergi begitu saja menghadapi tamu-tamu lain.

Pahala agung, ketika Anda rindu pada Rasul Saw., saat itulah Rasul Saw. sedang rindu pada Anda. Saya mempunyai teman di suatu wilayah yang sangat rindu dengan Rasul Saw. dan terus menangis jika mendengar kisah Rasul Saw. Namun ia belum juga mimpi Rasul Saw.

Lalu saya bermimpi, bahwa Rasul Saw. berpesan: “Katakan pada pemuda itu tiap kalau ia menangis merindukanku, aku ada di sampingnya, dan aku tidak meninggalkan ranjangnya sampai ia tidur pulas. Namun ketentuan pertemuan adalah di tangan Allah Swt.”

Orang yang rindu pada Rasul Saw. maka ia telah dirindukan oleh Rasul Saw.

Sya’roni As-Samfuriy, Cipayung 07 September 2013

Pelajaran Hikmah Part 2

Ali Ibn Muwaffaq menceritakan, “Aku bermimpi seolah-olah masuk surga. Aku melihat seorang laki-laki sedang berada dalam satu hidangan makan. Dua orang malaikat di kanan dan kiri menyuapi makanan yang tampak begitu lezat. Dia pun tampak sangat menikmati hidangan tersebut. Aku juga melihat seorang laki-laki sedang berdiri mengawasi wajah-wajah manusia yang berada di situ. Sebagian dipersilahkan masuk, sebagian lagi ditolak. Aku melewati dua orang lelaki itu menuju ke hadirat-Nya Yang Mahasuci.
Lalu, di tenda Arsy aku melihat seorang laki-laki lain lagi. Matanya melotot tak berkedip sedang memandang Allah SWT. Aku beranikan diri untuk bertanya pada malaikat Ridhwan, “Siapakah gerangan orang ini?”
“Dia itu Ma’ruf Al-Karkhi. Dia ini adalah hamba Allah yang tidak takut neraka dan tidak rindu pada surga, tetapi cinta kepada Allah SWT. Maka, dia diizinkkan untuk memandangi-Nya hingga Hari Kiamat.’ Menurut malaikat tersebut, dua lainnya adalah Bisyr Ibn Harits dan Ahmad bin Hambal.”
Abu Sulaiman mengatakan, “Barangsiapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya sendiri, maka besok juga sibuk dengan dirinya sendiri. Barangsiapa yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia juga sibuk dengan Tuhannya.”
Ats-Tsauri suatu ketika bertanya pada Rabi’ah Al-Adawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Dia pun menjawab, “Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga-Nya. Aku tidak seperti seorang buruh yang jahat. Aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
---Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah wa As-Sawq wa Al-Uns wa Ar-Ridha

Senin, 07 Oktober 2013

Pelajaran Hikmah Part.1

SHALAT SEJATI DARI IBNU ARABI
Alkisah. 
 
Ada seorang anak muda yang jika dibacakan Al-Quran di hadapannya, maka wajahnya berubah menjadi pucat. Ketika gurunya bertanya kepada orang dekatnya tentang apa penyebabnya, ternyata anak muda ini telah shalat malam dengan membaca seluruh surah Al-Quran. Mendengar hal itu, sang guru bertanya langsung kepada pemuda tersebut:
“Anakku, menurut kabar, malam tadi engkau shalat dengan membaca seluruh ayat Al-Quran. Benarkah?” tanya sang guru.
“Benar, guru,” jawab anak muda.
“Anakku, bisakah engkau nanti malam menghadirkan aku di arah kiblatmu, dan jangan lupa kepadaku,” pinta guru.
“Baiklah guru,” jawabnya.
Keesokan harinya, sang guru bertanya, “Sudahkah kau lakukan apa yang aku minta?”
“Sudah guru.”
“Apakah kau mengkhatamkan Al-Quran tadi malam?”
“Tidak guru. Aku tak sanggup membaca lebih dari separo Al-Quran.”
“Bagus..bagus... Nanti malam, hadirkan di depanmu siapa saja di antara para sahabat Rasulullah SAW yang engkau sukai. Tapi, waspadalah, karena mereka telah mendengar Al-Quran langsung dari Rasul. Maka, kau jangan salah dalam bacaannya.”
“Baiklah, Guru.”
Keesokan harinya, sang guru bertanya kepada muridnya tentang apa yang terjadi pada malam hari. Anak muda itu menjawab, “Guru, aku tak sanggup membacanya lebih dari seperempat Al-Quran.”
“Baiklah, anakku, nanti malam hadirkan Rasulullah SAW di hadapannya. Dan, ingatlah di depan siapa engkau membaca Al-Quran.”
“Baiklah, guru.”
Lalu, keesokan harinya, sang guru kembali bertanya tentang peristiwa yang terjadi pada anak muda itu ketika shalat. Lalu, pemuda itu menjawab, “Guru, aku hanya sanggup membaca beberapa ayat Al-Quran saja saat shalat tadi malam.”
“Ok. Nanti malam, bertobatlah kepada Allah dan bersiap-siaplah. Ketahuilah bahwa orang yang mengerjakan shalat itu sebenarnya sedang bermunajat kepada Tuhannya, dan engkau berdiri di hadapan-Nya sambil membaca kalam-Nya untuk-Nya. Karena itu, perhatikanlah bagian dirimu, bagian Al-Quran dan bagian-Nya. Kajilah apa yang engkau baca. Tujuan membaca Al-Quran bukan sekadar membaca huruf-huruf dan susunannya, serta penuturan ucapan dan ungkapannya belaka. Tapi, tujuannya adalah mengkaji makna-makna ayat yang engkau baca sehingga engkau tidak menjadi orang bodoh.”
Kemudian, keesokan harinya, sang guru menunggu berita dari muridnya. Tapi, sayang sekali anak muda itu tak kunjung datang. Lalu, dia mengutus muridnya yang lain untuk menanyakan keadaanya. Akhirnya, diperoleh kabar bahwa pemuda itu jatuh sakit.
Sang guru pun berangkat menjenguknya. Namun, saat anak muda itu melihat gurunya, ia menangis sejadi-jadinya, dan berkata: “Semoga Allah membalas kebaikanmu kepadaku. Aku tidak pernah menyadari bahwa diriku berdusta kecuali pada malam tadi. Aku berdiri dalam shalat, menghadirkan Al-Haqq, dan berada di hadapan-Nya. Ketika aku mulai membaca surah Al-Fatihah dan sampai pada ayat Iyyaka na’budu (Hanya kepada-Mu kami menyembah), kulihat diriku sendiri, tetapi aku tidak melihat ia membenarkan apa yang dibacanya. Karena itu, aku merasa malu untu mengucapkan ‘Iyyaka na’budu di hadapan-Nya, sedangkan Dia mengetahui bahwa aku membohongi ucapanku sendiri. Aku melihat diriku lalai dengan pikiran-pikirannya sendiri terhadap ibadah. Aku terus menerus mengulang-ulang dari awal surah Al-Fatihah hingga maliki yaumiddin, dan aku tak sanggup mengucapkan ‘iyyaka na’budu. Aku malu berdusta kepada-Nya karena Dia akan membenciku. Maka, aku tidak rukuk hingga terbit fajar. Aku pergi kepada-Nya dalam keadaan diriku yang tidak diridhai-Nya.”
Kemudian, tiga hari setelah peristiwa ini, pemuda tersebut meninggal dunia. Setelah dikuburkan, gurunya mendatangi kuburannya. Ia mendengar suara anak muda itu dari kuburnya, “Guru, aku hidup di sisi Yang Mahahidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Sang guru pun pulang ke rumahnya. Ia berbaring di tempat tidurnya, Ia jatuh sakit karena sangat terkesan dengan keadaan muridnya. Tak lama kemudian, gurunya pun menyusul muridnya ke alam baka.
Semoga bermanfaat!!!

--Kisah ini dituturkan oleh gurunya Ibnu Arabi, Al-Muqri Abu Bakar Muhammad bin Khalaf bin Shaf Al-Lakhmi, yang terdapat dalam kitab Futuhat Makiyyah karya Ibnu Arabi