Senin, 29 Juli 2013

Hadiah Baru Dari Tuhan



..... menangislah .....





sekedar untuk berbagi

MAKNA DAN RASA DALAM PUISI


Siapa pun tentu setuju, bahwa puisi adalah ungkapan perasaan penyairnya. Ya, dari puisinya, orang dapat “membaca” perasaan seperti apa yang ingin diungkap. Senang, sedih, kecewa, marah, atau sekedar melankolia karena terbawa oleh suasana yang ada di sekitarnya. Seorang penyair akan menulis puisi dengan suasana hati yang sedang dirasakannya ketika menulis. Jadi, penyair adalah orang yang paling jujur di dunia. Dia mengungkapkan pikiran dan perasaan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi dengan kebohongan.

Karena puisi itu ungkapan pikiran dan perasaan penyairnya, puisi menjadi sangat kaya akan nuansa suasana. Suatu peristiwa yang sama bisa saja ditangkap berbeda oleh penyair yang berbeda. Masalah cinta, misalnya, ada penyair yang merasakannya sebagai suatu peristiwa biasa dan sederhana, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sekedar puisi datar tanpa letupan emosi. Namun, bagi penyair yang lain, cinta adalah sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang rumit, sulit diterjemahkan dalam kata-kata, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sebuah puisi yang obscure, samar, namun eksplosif, penuh energi.

Cara mengungkapkan pikiran dan perasaan yang berbeda-beda itu pula yang membedakan kualitas atau kelas para penyair. Penyair yang tergolong masih pemula, yang masih dalam taraf belajar menulis puisi, cara mengungkapkan pikiran dan perasaan masih lugu, langsung, straight to the point. Pikiran sebagai kandungan makna dibungkus dengan emosi berlebihan sebagai kandungan rasa. Ya, penyair pemula masih mengumbar secara berlebihan emosi dalam puisi-puisinya. Kalau marah, dia berteriak. Kalau sedih, dia menangis. Berbeda dengan penyair yang sudah mapan, makna dan rasa dalam puisinya sudah mampu mengendap, tersublimasi dalam diksi, pilihan kata-kata yang bernas.

Karena puisi itu merupakan ekspresi pikiran dan perasaan penyairnya, maka untuk memahami puisi, pengenalan terhadap penyairnya juga menjadi sesuatu yang cukup penting. Artinya, untuk memahami sebuah puisi, dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, tentu pemahaman terhadap puisinya menjadi semakin dalam. Paling tidak dapat ditarik benang merah yang menghubungkan antara puisi dengan penyair yang menulisnya. Mengapa puisi seperti itu dapat tercipta dari seorang penyair seperti itu? Dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, pertanyaan semacam ini relatif lebih mungkin dicari jawabnya.

Sementara itu, menurut Prof Nurdien dari Fak. Ilmu Budaya UNDIP, puisi sebagai karya dari penyair, memiliki independensi sendiri. Begitu dia terlepas dari tangan penyairnya, dia bebas untuk dimaknai oleh siapa saja yang menikmatinya. Ruh atau jiwa puisi bergerak dan hidup di dalam intepretasi pembacanya. Itulah sebabnya, puisi yang sama bisa saja dimaknai berbeda oleh pembaca yang berbeda.

Saya kira, pendapat dua-duanya bisa diterima. Puisi sebagai karya boleh saja dikaitkan dengan penciptanya, sang penyair. Tetapi, kalau toh harus dipisahkan dengan penyairnya, dia bisa juga mengembara ke mana dia suka.


Kukira,Ws.

Rabu, 24 Juli 2013

Dalam Termos

jauh darimu, serasa kehilangan pegangan
seperti layang-layang tanpa benang
sejenak aku mengingat, tetapi banyak yang hilang
ingatanku tentangmu yang penuh hidangan

terkadang, aku merasa ditendang, dilempar
ke sana ke sini
hingga akhirnya aku memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiri

ah,.. adakah aku dalam ruang hampa?
air dalam termos?
diam yang hening
sepi yang sunyi
tanpa udara tanpa cahaya
atau inikah aku pada laut?
menikmati angin sepaket gelombang
ombak yang mengombang-ambing
perahu kulitku yang kecil

dunia seperti pedagang yah
menawarkan ini, itu yang belum ku selami
pernah, aku boleh mencicipi buah
berspekulasi tentang rasa
berspekluasi tentang asa
tetapi, lagilagi sepa menerpa lidah
ah…
aku, air dalam termos
memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiripun tiada
aku kehilangan pegangan
jauh darimu seperti layangan tanpa benang
yang terbang mencit
semakin kecil
kecil
hilang

Rabu, 17 Juli 2013

Bola-Bola Api Yang Terus Berkobar

kekasih,
bunga-bunga api kau nyalakan
lalu api kian berkobar  membakar diriku
bersama angin yang datang membawanya sebagai pesan
dari rindu yang mulai menjelma api di ujung sana
kobarnya semakin besar menyala-nyala di tiup angin
ia tak lagi terkendali bersama angin yang menari
menjilati diriku lalu melahapnya menjadi abu
hingga tak bersisa selain kepingan hatiku yang berserakan


kau mengatakan ini cinta kekasih,
ini cinta . . .
aku rela berkobar dinyala api yang kau buat
lalu hancur ditengah bara api yang menyala
asalkan kau yang menyulutnya,
kekasih kau tak perlu melinangkan air mata
dan risau melihatku menggelepar didalam kobaran api
karena risauku yang sesungguhnya kan menyala
bila bunga api yang kau sulut
tak lagi berkobar membakar sisa-sisa abu jasadku


pergilah kekasih . . ,
pergilah dengan setangkup cintaku yang kau peram
di dalam dada
dan kau pun tak perlu berhenti hanya sekedar
untuk mendengarkan kesakitanku
dalam lirih memanggil-manggil namamu
tak perlu pula kau pulangkan wajahmu
hanya sekedar untuk melihatku mengerang
menahan panas
dari luka yang manis akan bara-bara api yang melahap hatiku
di tiap jengkal rindu hati kita


teruslah berjalan kekasih
ikutilah rindu kemana membawamu pergi
berjalan bersama segerombolan anak-anak kecil yang lucu
kedalam rahasia tawa mereka dan kegembiraan yang melepas lara
melewati jalan setapak di pematang sawah saat di sore hari


dan kekasih
bila kau sudah menemukan cinta dan rindu yang sebenarnya itu
di tengah keriangan tawa anak-anak kecil
yang lucu
atau di balik kepakan sayap burung-burung
yang terbang bebas,jauh di atas langit sana
kau boleh kembali
namun kuharap kau jangan katakan pada mereka
bahwa bola api yang pernah kau sulut
telah padam dimataku,


jangan kekasih. . .
karena mereka akan seketika pergi dan membawamu
pada kenangan usia kanak kita untuk berpulang
sebab aku tak ingin kau untuk pergi dahulu
sebelum engkau sempat kembali kepadaku
menyalakan bunga-bunga api sekali lagi
yang menjadikan diriku dan air mataku sebagai bahan bakarnya
kali ini.

Senin, 15 Juli 2013

Lail

Lail,di malam yang lenggang
lorong lorong waktu sepi dari para pejalan
mata mereka lebih banyak kalah
dan menyerahkannya kedalam malam

Lail,pada gugusan bintang yang membujur
langit menghitam menyembunyikan segala misteri
dari balik cahaya rembulan
kerlap kerlip gemintang menjadi teman
menuntun jalan
dengan sedikit cahaya remang remang
di bawah bayang rembulan

Lail,rembulan dan berjuta bintang
yang bertebaran seluas langit diatas sana
kemudian diam membisu,
tenang
di dalam asma-Nya dan merunduk

Lail,cahaya rembulan dan bintang yang bertebaran
kemudian meredup
cahaya-Nya yang kemudian menenggelamkan segala cahaya
yang pernah kau lihat,
engkaupun akan terhempas jika masih berada dalam egomu
dan akan sirna di dalam cahaya-Nya jika masih merupa setitik cahaya

Lail,cahaya-Nya yang menelusup kerelung relung hatimu
kemudian menerangi,
membekukan tulang tulang yang kau rasa gigil
hingga kerelung palung di jiwa
mematikan seluruh indra
dan membinasakan segala keakuan yang ada
yang sering mengada ada

Lail,,Ialah cahaya di dalam cahaya

Sore Di Dermaga Ikan

Sore Di Dermaga Ikan


angin berhembus perlahan
memainkan irama debur ombak
memecah batu karang yang turun naik melepas kesunyian
mengisi irama kekosongan jiwa yang melanda di hati
pada terumbu karang yang diam membisu di terjang ombak
lautan tenang tapi tetap keras
menghantam bibir bibir pantai
pada tebing tebing batu
yang tegak berdiri,
ikan ikan kecil berenang
mengigit gigit kakimu yang sengaja
engkau serahkan kelaut
kedalam jaring laba laba milik nelayan
semua kekosongan dari segala lara yang kau kecap
menjadi gurita,merobek jala dari
benang benang nilon
yang sengaja disimpulkan untuk menjeratmu
semuanya kau lewati dengan menyelam
makin kedalam,ke
                            d
                               a           
                                  l
                                    a
                                       m
                                            sangat
                                                       d
                                                          a
                                                             l
                                                               a
                                                                  m
kerongga rongga dada dihati
tempat segala rahasia
kau masukan kedalam peti emas
yang kemudian engkau benamkan
sedalam palung laut di hatimu

Minggu, 14 Juli 2013

Mimpi Bersama Si Pemilik Bintang Di Dagu Yang Datang Untuk Memenuhi Undangan Hujan

Kepada abangku : Husni Hamisi


ketempat yang tak kutahu itu
aku datang menemuimu
disana kau sudah lama menunggu rupanya
ketempat yang kau tunjuk dengan isyarat
kaki kaki kita mulai beriringan berjalan meninggalkan waktu
menyusuri peninggalan jejak jejak setapak dijalan yang terjal
pada tepi anak sungai yang mengalir
kau memoles debu debu yang melekat didinding dinding kaca sanubari
ada jamur kerang yang tumbuh,katamu.
didaun angka kalender tua usia kita yang mulai berjatuhan seperti daun dimusim gugur
sayup sayup dari kejauhan langit di matamu kulihat mulai bergemuruh
dada dada kita mulai penuh suara ombak yang menderu
pada dinding dinding karang yang memusim
setelah kemarau,akan ada yang jatuh
: Hujan,katamu.

Dan jika benar musim penghujan
aku ingin sekali bermain dipipimu
menguras air hujan yang turun
dari kelopak langit,
setelah usai dan tak ada genangan air
aku bisa menikmati bintang kecil di dagumu,
sepuasnya.