Minggu, 20 April 2014

Gelas



betapa rapuh pengetahuan kita, bahwa di meja saya kini ada gelas, dan dia ada: ada gelas di meja saya. tapi lalu datang burung menyambar gelas saya. dibawanya terbang. saya melihat burung dengan paruhnya adalah gelas saya. lalu burung itu menghilang, gelas saya kini tiada.


tapi gelas saya itu ada, hanya adanya di tempat lain. saya tidak bisa lagi mengatakan gelas saya itu ada. sebab adanya sudah bukan di sini lagi tapi di entah. tapi pasti, gelas saya itu ada. andai ia lebur, sekali lagi gelas saya itu menghilang: ia jadi debu, dan keberadaan gelas saya itu kini sebagai debu. ia ada, tapi adanya sebagai debu.

begitulah saat tubuh saya kelak menghilang. tubuh saya kini ada, tapi saat ia menghilang, tubuh saya tiada. ia juga lebur seperti gelas saya itu, yang kubayangkan lebur - kenyataannya, kita tidak tahu. sebab ia tidak di depan mata kita lagi.

orang lain yang berkata saya sudah tidak ada lagi, saya sendiri ada, dalam bentuk serpihan-serpihan. tubuh fisik saya kembali jadi tanah, hanyut terbawa air sungai sampai ke lautan. naik jadi awan dan turun jadi hujan. (idih kamu meminum tubuhku saat menampung air hujan dari ember yang airnya kamu ambil dari sumurmu).

aku kini di lambungmu. tapi kamu bilang aku telah tiada: mati menghilang. pada kenyataannya aku ada hidup di lambung entah siapa. lalu bagaimana kita bisa berkata aku lagi? nyatanya ada aku di akumu. ada kamu di akuku karena prosesnya tinggal kita tarik ke belakang. lanangkah tempat adanya aku kelak itu? atau perempuan. kita lalu kehilangan identitas fisik tubuh, karena anasir anasirnya datang secara interteks-tanah bukan interteks-kata.