Rabu, 13 Desember 2017

Semacam Coretan

UNTUKMU DI PENGHUJUNG TAHUN

Kuperbaiki cintaku padamu dari tahun ke tahun
Seperti seorang murid memindahkan tugas sekolahnya ke buku-buku baru.
Juga akan kuberikan padamu tempat tinggal tetap di hatiku

Aku tak akan meninggalkanmu sendirian di tanggal 31 Desember. Tanganku akan membawamu di empat musim.

Sungguh aku mencintaimu.
Aku tak ingin melibatkanmu dengan kenangan yang sudah kita lalui.
Tidak juga kenangan pada penumpang kereta.
Kau kereta terakhir yang mengadakan perjalanan siang-malam di nadi tanganku.
Kau keretaku yang terakhir, dan aku pemberhentianmu yang terakhir.

Sepasang matamu mengandung daya kenabian
Dan keduanya bertanggung jawab atas kebahagiaan di muka bumi ini

Aku mencintaimu,
dan aku suka melibatkanmu di dalam waktu dan suasanaku
Dan menjadikanmu sebagai bintang di peredaranku.
Aku ingin kau mengambil bentuk kalimat dan selembar kertas,
agar ketika diterbitkan sebagai buku, bisa dibaca manusia,
dan mereka akan menemukanmu sebagai mawar di dalamnya

Aku ingin kau mengambil bentuk mulutku
Agar ketika kau bicara, manusia menemukanmu berlumuran di suaraku
Aku tak memilih untuk mengadakan selamatan. Aku memilih rindu.

Mengapa kau memerintahkanku menjumpai hujan?
Bukankah kau tahu, bahwa seluruh sejarahku bersamamu---
Yang berkaitan dengan gugurnya hujan
Adalah satu-satunya sensivitas yang membuatku terjaga

Mengapa kau memerintahkanku?
Bukankah kau tahu bahwa satu-satunya buku
Yang kubaca setelahmu, adalah Buku Hujan.

Sungguh aku mencintaimu.
Inilah satu-satunya pekerjaan yang kukuasai
--- profesi yang membuat teman dan musuhku dengki.

Terimakasih,
Karena kau telah memasukkanku ke Madrasah.
Terimakasih, karena kau mengajariku abjad-abjad cinta. Terimakasih, karena kau menerimaku sebagai kekasihmu.

Rabu, 16 Agustus 2017

Semacam Coretan di 17 Agusutus

Aku mencintaimu, seperti cintaku pada kampung halaman--- itu sebabnya rinduku padamu takkan pernah selesai. Seperti seruling yang setiap nadanya adalah suara kerinduan untuk kembali pada bambu yang telah melahirkannya.

Kau cantik, seperti bangsa yang telah merdeka. Jika aku masih punya rumah, maka hatimu adalah tempatku untuk pulang. Aku tak sanggup untuk tak mencintaimu, sebab kaulah tanah air yang membuatku merasa kembali lahir.

Kau kampung halamanku-- meski kau sudah dijajah dan dikuasai pihak lain, aku tetap tak bakal mampu melupakanmu. Seperti kampung halaman, rinduku padamu akan tetap tegak dan baka.

Seperti bendera kebangsaan, cintaku padamu berkibaran.

Kamis, 22 Juni 2017

Semacam Coretan

PELAJARAN | 

Kadang-kadang ada masa aneh bagi sebagian orang dalam mempelajari agama dari segi keruhaniannya, yakni saat seseorang lancar berbicara sesuatu yang belum pernah terpikirkannya secara penuh. Si pembicara bahkan  belakangan agak bingung dan bertanya-tanya: mengapa aku tadi bisa berbicara seperti itu?

Dalam perbincangan dari hati ke hati antar dua orang, misalnya, terkadang tercipta semacam 'chemistry' yang aneh. Tanpa ada rencana, mendadak salah satu pihak bisa berbicara panjang lebar tentang suatu topik yang sangat mengena di hati pendengarnya. Tentu umumnya kita akan  berpikir bahwa si pembicara ini lebih paham ketimbang pendengar dalam masalah yang dibicarakan itu. Tetapi tidak jarang kasusnya tidak begitu. Yang terjadi sebaliknya: si pendengar justru sudah lebih dahulu  memahami topik tersebut, namun ia belum menyadarinya. Maka Tuhan menjernihkan pemahaman si pendengar ke dalam kesadaran dan akal-pikirannya melalui lidah si pembicara. Ini berarti pula bahwa si pendengar itu juga mengajari si pembicara secara tidak langsung. Nah sekarang, pertanyaannya: siapa mengajari siapa? Pembicara mengajari pendengar, atau pendengar yang mengajari pembicara?

Boleh dikatakan bahwa kedua-duanya saling mengajari, yang berarti Tuhanlah yang pada hakikatnya mengajari keduanya dengan cara tak terduga. Lalu mungkin engkau berpikir:  si pembicara  beruntung dijadikan perantara dan si pendengar beruntung karena mendapatkan pemahaman tanpa susah-payah mencari-cari sendiri.

Persoalannya lalu: apakah si pembicara boleh merasa senang karena "dipilih" Tuhan untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar dan si pendengar senang karena mendapat keistimewaan diberi petuah atau pelajaran?

Jika si pembicara merasa senang karena alasan itu, maka ia sangat mungkin terjebak ke dalam ujub. Tetapi jika pembicara tidak merasa senang karenanya, berarti ia tidak mensyukuri karunia Tuhan. Ini dilematis.

Tetapi jika pembicara mengembalikan persoalan ini kepada Tuhan dan tidak memikir-mikirkannya lagi, ia bisa bebas dari dilema. "Rasa senangnya" akan berubah menjadi rasa syukur, bukan karena merasa dipilih, tetapi bersyukur karena mendapatkan pelajaran tak terduga melalui kehadiran pendengar, dan bersyukur karena mendapat karunia semacam ini, kemudian mengembalikan segala pujian kepadaNya. Maka ia bebas dari "merasa memiliki,"  bebas dari "merasa istimewa," dan bebas dari "merasa-merasa" lain yang berpotensi membesarkan egonya.

Sedang bagi pendengar, ia akan bebas dari "merasa punya ilmu baru" atau bebas dari “merasa makin pandai dan lebih baik daripada orang lain” jika ia juga mengembalikan urusannya kepada Tuhan. Pendengar akan merasa senang bukan karena merasa makin pandai, namun karena  dibukakan kesadaran oleh Tuhan bahwa dirinya masih banyak tidak tahu, sehingga ia menjadi bersyukur. Rasa syukur itu diwujudkannya dengan berterima kasih kepada Tuhan, kepada si pembicara dan lalu berusaha terus belajar mencari ilmu bukan karena ingin dianggap pintar, namun karena mensyukuri karunia ilahi berupa akal-pikiran dan pengetahuan.

Jadi keduanya tidak punya alasan untuk sombong. Keduanya menjadi punya banyak alasan untuk bersyukur dan takut. Bersyukur karena mendapat pemahaman dari Allah secara tak terduga dan berharap bisa meluruskan niat dan lakunya, sekaligus  takut tidak bisa mengamalkan pemahamannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Lingkaran ini merefleksikan aksioma penting:  "la haula wala quwwata illah billah."  Lalu dari sini muncullah Khauf dan Raja', dua sayap yang, menurut sebagian ahli sufi, akan membawa seseorang terbang lebih dekat ke hadirat Ilahi.

Tuhan sering bekerja dengan cara yang tak terduga  untuk mengajari kebaikan agar kita tidak mengklaim bahwa kita lebih istimewa dan penting daripada orang lain hanya karena kita “merasa” sudah lebih paham, lebih cerdas, lebih baik, lebih alim dan lebih benar.

Wa Allahu a'lam

Senin, 12 Juni 2017

Semacam Coretan

Suatu saat nabi di teras masjid bersama sahabatnya dalam rangka menunggu waktu iktikaf. Kemudian ada pemuda gagah lewat depan masjid menuju perkebunan. Kemudian sahabat nabi ada yang komentar: ‘’alangkah sial orang itu, seumpama tubuhnya yang gagah itu dibuat untuk iktikaf dia akan beruntung. Masa’ gagahnya seperti itu kok kedonyan, mengurusi kebon terus.”

Nabi langsung menoleh dan berkomentar: Jangan ngomong seperti itu. Dia kerja untuk menafkahi keluarganya juga perintah Tuhan. Atau dia kerja karena untuk membelikan makan ibunya juga perintah Tuhan.

Akhirnya sahabat sadar bahwa tidak mereka saja yang sedang melakukan ibadah.

Artinya sesuatu yang sakral bergantung pada yang profan. Solat fardhu itu keharusan, dan untuk bisa solat seseorang harus makan, dan untuk bisa makan seseorang harus bekerja. Artinya bekerja itu juga suatu kewajiban.

Beberapa waktu kemudian, setelah para sahabat rampung iktikaf, jalan-jalan dan bertemu Abu Ayyub al-Ansori yang waktu itu sedang habis dari kebon.

Dan diberilah sahabat-sahabat itu hasil panen kurma. Kok ya ndilalah sahabat yang habis iktikaf itu doyan.

Ada sahabat perempuan yang tiap habis solat terburu-buru pulang karena ingin menyusui anaknya. Sehingga tidak sempat untuk wiridan. Kemudian ada sahabat lainnya yang mengomentari: sungguh celaka orang itu karena tidak pernah wiridan.

Mendengar itu nabi paham dan langsung menukas; Jangan seperti itu. Dia memang tidak wiridan, tapi jangan anggap dia tidak sedang melaksanakan perintah Tuhan. Menyusui anak itu juga bagian dari perintah Tuhan.

Darusan (membaca al-Qur'an secara bergilir) di masjid itu baik. Dan tradisi di desa saya, biasanya orang yang darusan dikirimi jajan dan kopi. Segala jenis gorengan lengkap. Dan yang memberi jajan tersebut pernah ditegur seorang Ustadz; kamu kok gak pernah ikut darusan? Dasar bocah nakal. Kasihan orang tuamu.

Kemudian, teman saya itu kok ndilalah cerdas jawabannya:
‘lha kalau aku ikut darusan yang masak jajan dan membuatkan kopi kamu siapa?”

Ustadznya langsung mak klekep.

Maksudnya kita itu jangan saling vonis. Sesuatu yang sangat akhirat sering kali bergantung pada sesuatu yang sangat duniawi. Orang solat itu butuh pakaian. Dan mereka yang membuat pakaian boleh jadi justru tidak solat. Dan boleh jadi mereka yang membangun masjid; yang menyumbang material dan lainnya itu orang yang justru jarang solat. Dan seterusnya.. Ruwet pokoknya kalau dirinci satu-satu.

Padahal belum lagi bicara soal haji.. siapa yang buat pesawat? Belum lagi bicara soal obat-obatan, belum tentu yang membuat dan meracik obat dari golongan muslim.. Pokoknya jangan GR dulu lah.

Meniru gaya Cak Lontong: Mikiiir. sambil menudingkan telunjuknya di jidat.

Minggu, 11 Juni 2017

Semacam Coretan

TAWASSUL

Wahai jiwa-jiwa suci yang terbang dalam angkasa malakut

Wahai energi-energi abadi yang berenang dalam atmosfir jabarut

Wahai ayat-ayat yang menghiasi dinding-dinding alam lahut

Wahai bukti-bukti yang memadati kisi-kisi lelangit

Wahai peri-peri penabur shalawat dan tasbih yang menggetarkan dedaunan

Wahai desau angin yang sebarkan rintihan munajat di penghujung asa

Wahai rinai-rinai yang lembabkan pipi pendamba sekerat ijabah

wahai anai-anai yang membakar diri dalam ada-Nya

Jangan tanya apa masalahku

Jangan pula meminta pendapatku

Aku kehabisan kata dan tanda baca

Pandu aku yang sempoyongan mengetuk pintu RahmatNya

Biarkan aku bergulung-gulung meraung mengemis ampunanNya

Beri aku sepercik air dari telagaNya

agar aku lenyap

agar aku tak berbatas

agar aku tak ber-aku

Kamis, 01 Juni 2017

Semacam Coretan

Buaanyak sekali kiriman via SMS, via WA, maupun via BBM, yang berisi aduan-aduan dari para Sahabat saya yang berbeda Pandangan satu dengan yang lainnya.

Tujuannya mungkin ingin mengetahui sikap saya, atau berharap saya mendukung sikap mereka ... hahahaha ... jangan harap, karena TIDAK AKAN.

Kepada mereka saya balas dengan 'pertanyaan', yang isinya kurang lebih sama.

Pada yang sebelah 'sana' saya bertanya ;

"sampeyan lagi ngomongin Penista Kitab Suci, apa ngomongin Ahok ?"

Dan pada yang 'seberangnya' saya bertanya ;

"sampeyan lagi ngomongin Toleransi, apa ngomongin Habib Rizieq ?"

sementara saya tetap bebas melayang di awang-awang.

Bagi saya kalau kita tak bisa berbuat banyak demi kebaikan negara dan kebaikan masyarakat, cukuplah kita berjuang agar apa-apa yang keluar dari pikiran, hati lisan dan jemari kita tak menambah perpecahan, kerusakan pikiran, akhlak/moral dan hati. Agar negeri ini tak koyak oleh fitnah dan dusta dan amarah yang siap mengorbankan apa saja demi egoisme golongan dan syahwat kekuasaan, agar kita tak mewariskan kebencian dan dendam yang membuat kita kehilangan anugerah berharga dari Tuhan: rasa kasih sayang  kepada sesama manusia. 

Karena kebanyakan kita lebih sering merasa lebih tahu cara masuk surga ketimbang Tuhan, atau bahkan merasa lebih memahami Tuhan ketimbang Tuhan sendiri. Semisal engkau beriman, tetapi kau memasukkan makanan dan minuman yang diharamkan Tuhan ke dalam perutmu setiap hari; atau mencuri uang rakyat setiap hari, dan kau merasa tetap tak bersalah; atau setidaknya engkau merasa lebih kasih sayang pada sesama dan menganggap Tuhan pasti begini dan begitu karena rahmat dan kasihNya. Atau jika engkau marah-marah dan menghamburkan cacian, menyakiti sesama,  engkau merasa Tuhan pasti meridhoimu. Atau engkau membela kebenaran dengan fitnah dan merasa Tuhan memaklumimu.

Ringkasnya, diam-diam kita merasa Tuhan pasti mengikuti apa mau kita sehingga kita merasa berhak melakukan apapun atas namaNya. Diam-diam kita memberhalakan diri dengan mencatut Tuhan. Kita lalu seolah berdoa dan minta pertolongan namun hati kita diam-diam menuntut Tuhan untuk mengikuti dan menuruti apa mau kita, seolah-olah hanya kitalah yang pantas berdoa dan pantas dikabulkan keinginan dan ambisi kita.

Lalu,  jika keinginan dan ambisi kita ternyata tak terpenuhi, kita marah-marah, mengancam orang lain, mengkafirkan dan menyesat-nyesatkan orang lain, karena kita tak bisa memaksa Tuhan untuk menuruti keinginan kita. Kita jadikan sesama sebagai pelampiasan kemarahan karena kita tak bisa marah-marah dan menyuruh Tuhan patuh pada diri kita.  Maka kita bertindak seolah sebagai panitia seleksi masuk surga dengan menggunakan kriteria menurut tafsiran kita sendiri sebagai tolok ukurnya.

Barangkali, ya barangkali, kita lupa untuk memantaskan diri sebagai hamba sebelum menghakimi orang lain. Kita mungkin lupa bahwa setiap hari kita lebih sering mendengarkan hawa nafsu kita sendiri, memuji golongan kita sendiri. Kita berdoa tidak dengan kerendahan hati namun dengan keinginan memaksa, dengan perasaan pongah, dan ingin dituruti tanpa peduli bahwa ada banyak orang lain yang bisa berdoa dengan harapan berbeda dari kita dan mungkin lebih tulus dan tawadhu daripada doa dan hati kita.

Karena itu ulama yang mendalam ilmunya dulu mengajarkan cara menata hati, adab berdoa, adab memuji dan bertawadhu, dihadapan Allah. Salah satunya dengan istighosah. Jika kita menyimak istighosah menurut para Wali Allah itu, akan terasa atsarnya. Mereka sedang dididik dan mendidik diri untuk memperbaiki akhlak kepada Tuhan dan kepada sesama. Dengan harapan kelak Allah berkenan mengakui kehambaan, bukan memaksa Allah menuruti keinginan. Harapan dan keinginan adalah sekunder, karena Allaah lebih tahu apa yang paling baik bagi hambaNya. Yang primer adalah bagaimana permohonan kita menjadi wasilah untuk menjadi hambaNya sesuai kehendakNya. Kita mengaku lemah sebagai manusia dan karena itu kita akan senantiasa berusaha, meminjam adagium Gus Mus,  memanusiakan manusia, agar kuat bersama-sama tanpa saling merasa lebih unggul daripada yang lain. Semoga.

Selamat Hari Lahir Pancasila
Saya INDONESIA.

Senin, 15 Mei 2017

Semacam Coretan


Tuhan yang lebih patut dicintai pun tahu kalau aku banting-tulang mencintaimu, Tuhan tak marah cintaku mengacu padamu, sebab Tuhanlah yang menciptakan Cinta ini. Tuhan tak geram cintaku padamu mengambil-alih cintaku padaNya, sebab Tuhan ingin aku mempersiapkan cintaku padaNya dengan cara aku mencintaimu, atau Tuhan tengah mengajariku dengan cara mencintaimu lebih dulu agar nanti pada saatnya cintaku padaNya telah benar-benar pantas.

Tentu saja, saya mencintai Tuhan dengan cara mencintaimu. Tuhan---sekali lagi, tidak marah, bahkan akan senang melihat aku mencintai makhluk yang mencintai Tuhannya.

Toh, jika Tuhan maha indah dan mencintai keindahan, apakah salah jika kemudian aku mencintaimu?

Dalam sebuah sabda terdapat ungkapan begini: Man arofa nafsahu, Arofa Robbahu--- dengan kata lain, Barangsiapa mengenal diri sendiri, ia akan mengenal Tuhannya.

Bagaimana jika kemudian aku mengenal diriku sendiri setelah aku mengenalmu? Apakah berlebihan kalau akhirnya aku Menemukan diriku ada pada dirimu? 

Tuhan memberi peluang bagi hambanya untuk mengenal wujudNya melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui pengenalan Diri sendiri. Tahukah kau, setelah mengenal dan bertemu denganmu, aku tak menemukan diriku sendiri kecuali Aku Fana dalam dirimu. 

Itu artinya, Untuk bisa mengenal Tuhan, aku mesti lebih dulu mengenalmu. Agar aku bisa mengenal Tuhan, aku harus lebih dulu menjadi Dirimu, Kekasih.

Minggu, 14 Mei 2017

Semacam Coretan

Kadang-kadang aku memilih Kesendirian itu justru untuk menolak sepi. Kesendirian itu bukan semata-mata barang misalnya mengurung diri di kamar atau menyepi di tempat yang jauh dari keramaian. Namun kesendirian aktiv sebagai pintu masuk Menyambut Liyan. Dan sebaliknya, Liyan bukan berarti selalu dalam bentuk seseorang. Liyan bisa berarti, misal; kenangan.

Tapi kesendirian juga yang menyebabkan aku sering menaruh curiga dan sekaligus menakar kehendak Tuhan. Seperti ini misalnya; Jangan-jangan Tuhan menciptakan Kopi itu agar aku dapat merasakan kepahitan seorang pecinta yang tak diakui. Kesendirian juga yang memicu pikiranku untuk menduga-duga kehendak Tuhan; jangan-jangan Tuhan menciptakan Perpisahan agar seorang pecinta bisa menerjemahkan kegetiran ke dalam puisi.

Itu yang melatari mengapa aku sekali tempo begitu kuat ingin "Manjing Kahanan" ke dalam kesendirian. Sebab di situ aku bisa mengadakan komunikasi denganmu melalui ingatan-ingatan dan doa. Dan, sudah, begitu saja.

Rabu, 03 Mei 2017

Semacam Coretan

Dengan menyebut nama cinta, yang dengannya Manusia dapat merasakan Tuhan hadir dalam setiap desir. Aku berlindung dari kebencian dan dendam yang menjerumuskan.

Alif laam miim. Cinta itu, tidak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi mereka yang setia melaksanakan perintah kekasihnya. Yaitu mereka yang mempercayai kenangan, menegakkan rindu, dan menyerahkan hatinya.

Airmata adalah konsekuensi rindu, sementara menangis adalah pengakuan atas cinta.

Hari ini adalah Hari Besar Kenangan. Hari untuk pulang; ke hatimu. Aku harus mengadakan perayaan untuk menghormati jasa-jasa Kenangan. Setidaknya karena Kenangan, telah memberi banyak uluran tangan untuk menyelamatkan karunia yang tak diakui. Karena dengan demikian, aku bisa menyampaikan rasa syukurku kepada Tuhan. Ya, aku akan melangsungkan ritual untuk memperingati Hari Besar ini dengan cara mengisahkan cerita kita, semata agar semua makhluk tahu bahwa cintaku padamu. Lebih luas ketimbang kesepian.

Kau dilahirkan ke muka bumi ini tentu ada banyak tujuan, salah satunya agar aku dapat menyaksikan keindahan, karena dengan itu dapat kutemukan jalan untuk mengenal Tuhan. Maka mencintaimu, adalah pintu masuk untuk sampai ke dalam Tuhan.

Maka demi mempertanggung-jawabkan kenanganku kepadamu di hadapan semesta, di Hari Besar Kenangan ini, aku telah mengangkat sumpah untuk senantiasa memperjuangkan kenanganku padanya, dengan cara menuliskannya ke dalam cerita:

Sebelum senja yang suci itu, seluruh pusaran waktuku terasa begitu suwung, detik demi detik kulalui seperti mayat yang terapung. Mengalir saja, bahwa nasibku tergantung keputusan arah arus sungai kehidupan. Diriku seperti dilepas ke tengah-tengah takdir. Perjalanan itu benar-benar gaib. Bahkan, saudara tahu. Aku hidup dalam keadaan mati roso. Mati roso itu barang misalnya sudah tak lagi sanggup merasakan kebahagiaan atau penderitaan. Seperti paceklik yang abadi itu.

Hingga akhirnya datang hari itu--- Muara tempat arus sungai perjalananku menemukan maknanya. Di senja yang keramat itu aku sampai pada satu titik dimana Tuhan menampakkan wujudnya. Aku merasa itu adalah isyarat bahwa akan ada kejadian di kedalaman diriku. Ya, Tuhan menampakkan senyumNya melalui bibirmu. Tuhan memberi anugerah kepadaku dalam bentuk bahwa aku dapat melihat semua keindahan di muka bumi ini cukup dengan melihat wajahmu.

 

: ke haribaanmu

Kulipat kertas yang berisi semua tentangmu dan kuserahkan kepada laut. Nampaknya ia sudah mafhum untuk siapa kertas itu dan kemana ia harus mengantarkan. Sebab, saudara tahu. Hanya laut itulah satu-satunya makhluk yang dapat memahami airmataku.

Aku mencintainya semata karena tunduk pada nurani, sebab apapun yang diputuskan oleh nurani adalah mandat dari takdir. Bagaimana aku dapat menghindar dari sesuatu yang telah digariskan oleh Tuhan, sementara tak ada sehela saja dari nafasku yang keluar dari perhitunganNya? Saudara boleh membilang ganjil karena aku baru melihat wajahnya selintas, itu pun sudah terlampau purba. Kalau akhirnya cintaku kepadanya diadili dan digugat oleh seluruh penghuni semesta, biar Tuhan sendiri yang turun tangan, karena aku yakin bahwa Dalang akan bertanggung jawab atas lakon wayang yang ia gelar di pertunjukan.

Terbilang musykil karena sesungguhnya Ia sama sekali tak pernah tau lelakon perasaanku. Saudara tahu, setiap kali kangenku padanya memuncak, betapa cukup bagiku memandang rumahnya dari jarak kejauhan. Aku bahkan sering membayangkan betapa bahagia atap rumahnya yang bisa menaunginya dari hujan dan kepanasan, betapa senang dinding rumahnya yang dapat melindunginya dari kedinginan. Betapa, Oh, Betapa… Lantai rumahnya pasti merasa beruntung karena bisa dibuat alas untuk kakinya. Barangkali, matahari yang terbit setiap pagi itu dalam rangka takzim atas keluhuran dirinya, dipancarkannya cahaya matanya ke pusat kehormatan malam dan menjadikan bulan menemukan maknanya. Betapa rinduku mengembara dari bintang ke bintang.

Dimasa yang sudah berlalu tanpa kesudahan itu selama dua dasawarsa aku tak habis-habisnya memujanya sebagai penegasan jati diri seorang pecinta;
“ kekasih… Inilah aku, lelaki yang selama dua puluh tahun mempunyai cita-cita hanya untuk memandang wajahmu. Kini, di senja yang nirmala ini, cita-cita itu telah tercapai. Aku tak berharap ingin memilikimu, sebab aku mencintaimu bukan untuk ingin menguasaimu. Cintaku padamu,kinasih, semata-mata adalah bagian dari darma, dan mencintaimu, kinasih. hanya untuk melaksanakan takdirku. Kau tahu, selama ini aku menghamba dengan cara memperjuangkan cinta. Hanya untuk mencintaimu. Setiap kali aku lalai akan Tuhanku, yang kuingat cuma wajahmu, hanya wajahmu belaka yang membayang jauh ke dalam batinku”. Kusampaikan kata-kata itu sembari memandang sang rembulan. Bukan, itu bukan kata-kataku, itu adalah hyang wisesa yang berbicara melalui mulutku.

Aku tak berharap ingin memilikimu, sebab aku mencintaimu bukan untuk ingin menguasaimu. Cintaku padamu,kinasih, semata-mata adalah bagian dari darma, dan mencintaimu, kinasih. hanya untuk melaksanakan takdirku.
bahwa takdir mengizinkanku hanya untuk mencintaimu, tidak untuk hidup bersamamu dan bahwa semesta menyetujui meski mati, jiwaku tetap diperkenankan untuk mencintaimu, hanya dirimu. Semata-mata cintaku menghadap ke haribaanmu.

--2014--

Jumat, 28 April 2017

Semacam Coretan


Sepasang mataku dirancang Tuhan secara khusus dan ia--- Alhamdulillah, mendapatkan anugerah gampang terkesima mentakzimi parasmu. Barangkali tujuan utama Tuhan menciptakan sepasang mataku agar airmatamu mengalir ke muara yang tepat, atau diciptakannya sepasang mataku ini agar kesedihanmu dapat pulang ke rumahnya, karena aku kurang yakin jika ia dibebani kewajiban hanya untuk suntuk memandangmu.
Sepasang mataku sudah belajar dengan tekun untuk berjihad melawan kantuk, agar lelapmu ada yang senantiasa mengawasi. Sepasang mataku sering menantang malam dan ia bertugas menjadi peronda, agar malam-malammu ada yang hikmat menjaga.
Jangan berpaling, biarkan sepasang mataku menunaikan inti amanat yang dilimpahkan oleh lubuk terdalam kerinduanku.
Maafkan jika kau kerap silau pada sorot mataku, ia gampang menyala jika terpercik kerdip matamu. Mungkin Tuhan menciptakan insomnia agar sepasang mataku jadi berguna. Dan aku percaya Tuhan menciptakan sepasang matamu tak lain hanya agar sepasang mataku menemukan cara untuk melihat Tuhan.

Rabu, 26 April 2017

Semacam Coretan

Ada saat dan tempat dimana seseorang mesti memisahkan antara Harapan dan Angan-angan. Bahwa Harapan adalah perjuangan, laku kolektif yang diekspresikan hampir membutuhkan setiap bagian dari tubuh, dan angan-angan adalah kosong, dan kosong adalah pernyataan tentang kekecewaan yang belum tiba waktunya---kemarahan terhadap birahi yang tak selesai.

Mencintaimu, itu artinya harus ada upaya untuk menyelamatkanmu dari apapun yang bisa menyakitimu, upaya itu hadir sebagai bagian dari pelaksanaan harapan. Jika tak ada upaya apapun, sementara saya mencintaimu, itu berarti saya telah memberi kesempatan kepada orang lain untuk menyelamatkan Yang saya cintai dan membiarkan Yang saya cintai diteror, direbut dan dimiliki orang lain.

Dengan kata lain, harapan adalah konsep, dan praktiknya adalah membuatmu tersenyum, sebuah pelaksanaan yang disusun dari Sintesis-Apriori---tentang cinta yang menghadirkan keberanian untuk berjihad melawan marabahaya.

Saya jadi ingat dawuh dari Ibnu Athoillah; Arrojau ma qoronahu amalun, wa illa fahuwa amniyatun--- Harapan adalah sesuatu yang disertai dengan pelaaksanaan, jika tidak maka itu hanyalah Angan-angan.

Akhirnya, saya akan mengutip penutup dari sajaknya Sapardi yang berjudul Dalam Doaku: ''Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah selesai mendoakan keselamatanmu''.

Semacam Coretan

Sampai saat ini pun tak aku tahu

hakikat pengertian cinta,

tapi aku bisa menyimpulkannya

hanya dengan menyebut namamu.

Dan

karena cinta itu jauh lebih luas

dari apa pun yang pernah ada,

maka aku ingin meringkasnya

dengan terus mendoakan

keselamatanmu,

Kebahagiaanmu.

Selasa, 25 April 2017

Semacam Coretan

Setiap jengkal yang kulewati--- kesedihan, kegetiran, duka, derita, airmata, tangis, termasuk juga kebahagiaan, tawa, riang, gembira, dan seluruh perasaan yang pernah kualami--- hakikatnya cuma untuk mempersiapkan pertemuanku denganmu. Pendeknya, seluruh yang kualami dulu semata untuk menyongsong kebersamaan kita kini.

Sungai yang panjang, berkelok, berliku, penuh terjal-- arusnya selalu bergerak dan mengarah ke satu muara. Aku sungai itu dan kaulah muara. Aku berhenti di kamu. Kau puncak gunung--- Dan untuk mencapai sana aku harus menempuh tebing, jurang, lereng yang terjal. Perjalanan yang meletihkan.

Setiap yang matang selalu berangkat dari mentah. Ia terlibat dalam proses untuk menjadi Matang. Gandum ditumbuk dan dibakar agar menjadi roti. Padi dirontokkan, disekam dan digiling agar menjadi beras. Aku dihantam kesedihan dan dilibas kegetiran agar aku benar-benar telah Siap dipertemukan denganmu.

Cinta yang kini sedang berlangsung adalah hasil dari seluruh antah-berantah yang telah aku alami. Cintaku padamu adalah akumulasi dari sekian macam kepayahan. Cintaku padamu ini terbuat dari kegetiran dan kesedihan yang sudah damai terbaring di masa laluku. Cintaku bangkit dari makam dan bersimpuh di haribaanmu.

Semacam Coretan

Demokrasi.

Kau tak tersinggung ketika mendengar aku menyatakan suka kopi hitam pekat, dan aku tak sakit hati ketika melihatmu memesan teh. Kita sama-sama tak naik pitam saat kau bilang teh lebih wangi ketimbang kopi, dan aku bilang sebaliknya.

Kita tak pernah saling umpat hanya karena kita beda pendapat, kita tak pernah marah cuma sebab beda arah. Jiwa kita matang oleh pergesekan, dan perbedaan di antara kita sebenarnya hanyalah untuk menanak kesadaran kita, bahwa nyala lilin dan obor bersumber dari api yang sama, bahwa cahaya selalu butuh gelap agar keberadaannya dapat menerangi.

Aku menamaimu cinta, dan kau menyebutku kasih-sayang. Aku memanggilmu kembang, dan kau menyapaku bunga. Kau lebih suka menganggapku masa lalu, aku lebih senang mengibaratkan kau kenangan.

Adakalanya Demokrasi bisa sesederhana itu, Kekasih.

Minggu, 16 April 2017

Semacam Coretan


Ketika perempuan berbicara, lihatlah apa yang dikatakan oleh kedua matanya. Dan sepasang mata, seperti halnya buku, ia berhak untuk dibaca. Meski kau tak akan sanggup memahami satu pun kata yang disampaikan oleh kedua matanya.

Sebab membaca mata perempuan, seperti doa. Kita berdoa tidak agar diberi sesuatu, melainkan lebih karena yang memerintah Tuhan, bukan?

Dan begitulah.. Pada akhirnya, Tuhan menciptakan perempuan untuk dicintai, tidak untuk dipahami. Sebab di hadapan perempuan yang dicintainya, lelaki tak ubahnya burung di hadapan alam raya.

Semoga sepasang matamu tetap mengandung daya untuk bisa dirindukan. Sebab Tuhan menciptakan sepasang matamu agar sepasang mataku dapat melihat keindahan Tuhan.

Senin, 03 April 2017

Semacam Coretan Yang Hadir Dari Masa Lampau


Mungkin puisi ini tidak sempat kaubaca, aku tahu bahwa bersamaku bagimu adalah derita. Aku pun paham kaumenjauh demi airmata tak luruh. Mengingatku, barangkali mustahil kaulakukan. Kenangan tentangku mungkin sudah kaugugurkan. Seluruh kisahmu denganku mungkin kaubiarkan melayang, sehingga riwayatku di buku batinmu tak ada, tak ada lagi sepercik bara cinta yang kaunyalakan.

 

Maafkan aku bila masih rutin mengenangmu demi perasaan perih kembali pulih. Maafkan aku bila masih tekun mengingatmu hanya karena aku tak sanggup melupakanmu. Maafkan aku bila masih rajin menghayati betapa pernah sekedar pernah jalan bersamamu adalah Anugrah.

 

Aku tak berani berharap lebih kepadamu, aku Cuma ilalang dan kau bulan, cukuplah bagiku mendapat pendaran cahayamu dari kejauhan, sebab apalah aku, memandangmu saja sudah terlampau membahagiakan. Entah untuk sampai kapan aku terus rela tersangkar dalam perasaan pedih ini, aku hanya tahu bahwa mengingatmu adalah ilham bagi sebaris puisi.

 

Kautak perlu bertanya mengapa selama ini---semenjak mengenalmu, aku rela menanggung keperihan. Sudah cukup bukti bahwa aku mencintaimu; Luh yang berlelehan, namamu yang tanpa jeda kubisikkan, dan aku tak perlu bertanya Apakah kaumencintaiku? Tidak, aku tak hendak menanyakan apakah sama getaran didadamu denganku. Sebab aku terlanjur pasrah digiring ke padang takdir. Kalaupun aku layak menjadi kakek dari cucumu, Tuhan lah yang memberi hak kepada malaikat untuk lalu menemukanku denganmu, bilapun aku patut menjadi bapak dari putramu, Tuhan pula satusatunya satu yang memberi wewenang.

 

Mungkin puisi ini tidak akan kaubaca, aku tahu bahwa mendengar namaku saja barangkali sudah tak sanggup membuatmu tesenyum. Dan tahu akan kabarku mungkin sudah tak lagi kaucari, sebab menyebut namaku saja barangkali sudah melulu luput kaulakukan.

 

Maafkan aku bila masih saja kupelihara perasaan ini, merawat dengan hikmat kenangan denganmu, menjaga kisah bersamamu melalui puisi. Meski aku tahu bahwa kau tak akan membaca puisiku ini.

 

 -----------------------

 

Demi lengkung langit tempat Tuhan memelihara gemintang

aku menujumu melalui lorong lengang dan rentang kenang

dimana rindu menghubungkanku ke bagian terjauh dalam dirimu

mencari tempat berkholwat, menghayati keperihan sebagai kamu

 

Airmata adalah kereta yang mengantarkanku sampai kepadamu

Gerbong yang mengangkut katakataku, mengusung segala pilu

Melaju melintasi relung rel yang menjurus ke ruang terdalam dari dirimu

Tak akan henti, cintaku. Tak akan. Sebelum tiba ini keretaku

 

Berbaringlah dan izinkan aku membelai rambutmu yang tergerai

akan kubisikkan kepadamu serunai kisah yang berkelok bagai sungai

atau menangislah semaumu sampai sembilu lenyap kedalam rindu

dan biarkan aku menjadi orang terakhir yang menyeka luh-mu itu

 

Demi luas laut tempat Tuhan merawat ombak dan gelombang

aku menempuh samudra ke arahmu dengan layar terpasang

dan di antara kita ada riwayat yang musti senantiasa kuingat

sebab melupakanmu sesaat adalah keperihan hakekat

 

 

11 January 2012

 

Rabu, 29 Maret 2017

Semacam Coretan

Doa

Aku sering mendoakan dirimu melebihi diriku sendiri, karena mendoakanmu sama saja artinya mendoakan diriku. Ketika aku mendoakan dirimu bahagia dan dengan kehendak Gusti, kau dapat bahagia--- meski bahkan jika kebahagiaanmu tidak lantaran doaku, aku tetap akan merasa doaku diijabahi.

Itu sebabnya, ketika aku ingin bahagia, secara reflektif, aku akan mendoakanmu sebagai proses mencapai kebahagiaan, sebab dalam tinjauan psikologi, itulah yang paling masuk akal.

Dan melihatmu bersedih adalah isyarat kalau doaku belum diijabahi.

Kebahagiaan, seperti halnya doa; selalu punya alamat. Kau alamat bagi kebahagiaanku. Kau tanah, dan doa-doaku adalah hujan yang tak lain akan tiba di haribaanmu.

Selasa, 28 Maret 2017

Doa Penggembala


Suatu ketika Musa melihat seorang penggembala di tengah jalan dan mendengar ia mengucapkan doa yang tidak biasa dari mulut penggembala tersebut, "Tuhan, dimana Engkau berada? Jika bisa ke tempat Mu,  aku ingin memperbaiki sepatu Mu, menyisir rambut Mu dan mengambil kutu kutu di rambut Mu. Aku ingin  menghidangkan segelas susu, mencium tangan dan kaki Mu yang mungil saat Engkau akan pergi tidur. Aku ingin menyapu kamar Mu dan membuatnya bersih dan rapi. Tuhan, domba dan kambing milikku adalah milik Mu. Semua yang kuingat tentang Mu adalah aaayyyy dan aahhhhhhh". Musa tidak dapat menahan rasa marahnya lalu berkata: "Siapakah dirimu yang begitu lancang berdoa dengan cara seperti itu kepada pencipta manusia dan kepada yang mencipta langit dan bumi. Jangan berbicara tentang sepatu dengan Tuhan! Dan apapula maksudmu dengan ucapan tangan yang mungil? Begitu melecehkan sekali caramu berdoa kepada Tuhan, seolah olah engkau berbicara dengan pamanmu. Hanya manusia yang butuh susu dan sepatumu, bukan Tuhan!" Mendengar ucapan Musa, penggembala merasa menyesal bercampur sedih dan seketika itu ia merobek robek bajunya serta berlari menuju padang pasir.

Tiba tiba ada penyingkapan kepada Musa dan terdengar suara: "Hai Musa, engkau telah memisahkan Aku dengan hamba Ku. Bukankah engkau sebagai nabi diutus untuk menyatukan bukan untuk memisahkan. Sesungguhnya  Aku telah menetapkan setiap makhluk cara mengetahui dan memuja dengan caranya masing masing. Apa yang kelihatan salah bagimu bisa jadi adalah benar baginya. Apa yang beracun bagi seseorang bisa jadi adalah madu bagi yang lain. Status mulia atau rendahan dari seseorang serta teratur dan tidak, dalam ucapan saat bedoa, tidak ada hubungannya denganku. Aku terpisah dari itu semua. Cara berdoa ataupun memuja tidak  diukur dengan lebih baik atau yang lain lebih buruk. Semua pujian kepada Ku adalah baik. Aku tidak mengutamakan tindakan pemuja dan kata kata doa mereka. Aku melihat kerendahan hati dan ketulusan mereka. Lupakan kata kata. Aku ingin hambaku terbakar, terbakar dengan hasrat cintanya saat memuja Ku. Mereka yang peduli dengan tindakan dan kata kata adalah satu hal namun kekasih yang mencinta dan berdoa dengan tulus adalah suatu hal lain lagi. Jangan mencaci hamba Ku yang mencintai Ku. Cara yang mungkin terlihat 'salah' yang ia ambil lebih baik dari ratusan  cara yang 'benar". Di dalam Kabah tidak masalah kemanapun sajadahmu  diarahkan. Penganut agama cinta selalu mengisi hatinya dengan ingatan tentang Tuhan.

Setelah mendengar hal itu, Musa tersadar dan kembali kepada dirinya. Ia merenung dan menyadari betapa menyesalnya telah memarahi si penggembala. Musa segera mengejar dan mencari penggembala tersebut dan akhirnya berhasil ia temui dan berkata kepadanya, "Aku salah, hai penggembala, Tuhan telah menyingkapkan kepadaku bahwa tidak ada aturan dalam memuji dan berdoa kepada Nya. Katakan apa yang engkau sampaikan dengan cinta yang bersemayam di dadamu dengan cahaya ketulusan hatimu bersemayam disana." Penggembala balas menjawab, "Musa, aku telah melampaui semua itu. Engkau bagaikan telah mencambuk seekor kuda sehingga berlari dengan kemauannya sendiri. Terberkatilah kemarahanmu kepadaku. Kini aku tidak dapat menjelaskan lagi bagaimana keadaanku kini. Apa yang aku katakan bukanlah kondisi diriku yang sebenarnya. Penggembala kemudian kembali diam di kuasai suasana keterserapan dirinya dengan Tuhan. Ketika engkau melihat cermin maka engkau melihat dirimu, bukan keadaan cermin. Pemain seruling meniup serulingnya dan yang memainkannya adalah dirinya juga. Kapanpun engkau memuji atau berterimakasih kepada Tuhan maka lakukanlah dengan cara kesederhanaan seperti si penggembala lakukan.

The Book of Love:
Poems of Ecstasy and Longing
by Jalaluddin Rumi
tr: Coleman Barks

Minggu, 26 Maret 2017

Semacam Coretan


Teruntuk putry kecilku

Berjalanlah didunia ini dengan panduan cinta-Nya agar engkau tak mudah tersesat saat menentukan arah hatimu.

Karena dari-Nya engkau akan belajar cinta yang sempurna.
Tentang cinta yang tak terucap,namun itulah cinta paling agung yang hanya dapat dikenali oleh hati yang lapang.


Sebentuk cinta altruistik, yang diberikan tanpa berharap balas.
Sebuah cinta tanpa alasan, tanpa pamrih, tanpa permintaan jawaban dan balasan.

Yang mungkin bisa saja kau dapati, semisal pada seseorang yang saban hari selalu mengusir nyamuk dari dekatmu ketika kau sedang tertidur, yang juga mendo'akan keselamatanmu diam-diam tanpa kau tahu, yang ikut bersyukur dari kejauhan saat kau bahagia, dan ikut menangis sendirian ketika kau sedang terluka, itulah cinta yang tak terucap,yang mungkin hanya kau dapati pada sosok ayahmu yang sekalipun sangat tegas dalam prinsip tapi percayalah iapun juga sangat mudah tersentuh oleh hal-hal kecil.


Ataukah pada seseorang yang membenahi selimutmu ketika kau terlelap, yang mengingat dan memikirkanmu saat kau jauh,yang selalu setia menjadi pendengar terbaikmu ,yang selalu menyiapkan pelukan terhangat saat kau butuh tempat untuk meluapkan tangismu , yang selalu menyambutmu dengan hati terbuka kapan pun kau datang, yang memasakkan makanan kesukaanmu demi membuatmu tersenyum, itulah cinta yang tak terucap,yang mungkin akan kau dapati hanya pada sosok malaikat seperti ibumu.


Tidak setiap orang mampu memberikan cinta seluhur itu bukan ?
karena penerimanya pun kadang tak sadar dan tak pernah tahu.


Meski kita kadang ingin mendengar seseorang menyatakan cintanya kepada kita, namun sering kali cinta teragung itu terucap tanpa kata-kata.


Cinta yang diberikan dalam diam.
Cinta yang diwujudkan dalam tindakan.


Cinta yang bahkan tak meminta balasan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Diketik saat penulis begitu dalam memandangi wajah putri kecilnya.