PELAJARAN |
Kadang-kadang ada masa aneh bagi sebagian orang dalam mempelajari agama dari segi keruhaniannya, yakni saat seseorang lancar berbicara sesuatu yang belum pernah terpikirkannya secara penuh. Si pembicara bahkan belakangan agak bingung dan bertanya-tanya: mengapa aku tadi bisa berbicara seperti itu?
Dalam perbincangan dari hati ke hati antar dua orang, misalnya, terkadang tercipta semacam 'chemistry' yang aneh. Tanpa ada rencana, mendadak salah satu pihak bisa berbicara panjang lebar tentang suatu topik yang sangat mengena di hati pendengarnya. Tentu umumnya kita akan berpikir bahwa si pembicara ini lebih paham ketimbang pendengar dalam masalah yang dibicarakan itu. Tetapi tidak jarang kasusnya tidak begitu. Yang terjadi sebaliknya: si pendengar justru sudah lebih dahulu memahami topik tersebut, namun ia belum menyadarinya. Maka Tuhan menjernihkan pemahaman si pendengar ke dalam kesadaran dan akal-pikirannya melalui lidah si pembicara. Ini berarti pula bahwa si pendengar itu juga mengajari si pembicara secara tidak langsung. Nah sekarang, pertanyaannya: siapa mengajari siapa? Pembicara mengajari pendengar, atau pendengar yang mengajari pembicara?
Boleh dikatakan bahwa kedua-duanya saling mengajari, yang berarti Tuhanlah yang pada hakikatnya mengajari keduanya dengan cara tak terduga. Lalu mungkin engkau berpikir: si pembicara beruntung dijadikan perantara dan si pendengar beruntung karena mendapatkan pemahaman tanpa susah-payah mencari-cari sendiri.
Persoalannya lalu: apakah si pembicara boleh merasa senang karena "dipilih" Tuhan untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar dan si pendengar senang karena mendapat keistimewaan diberi petuah atau pelajaran?
Jika si pembicara merasa senang karena alasan itu, maka ia sangat mungkin terjebak ke dalam ujub. Tetapi jika pembicara tidak merasa senang karenanya, berarti ia tidak mensyukuri karunia Tuhan. Ini dilematis.
Tetapi jika pembicara mengembalikan persoalan ini kepada Tuhan dan tidak memikir-mikirkannya lagi, ia bisa bebas dari dilema. "Rasa senangnya" akan berubah menjadi rasa syukur, bukan karena merasa dipilih, tetapi bersyukur karena mendapatkan pelajaran tak terduga melalui kehadiran pendengar, dan bersyukur karena mendapat karunia semacam ini, kemudian mengembalikan segala pujian kepadaNya. Maka ia bebas dari "merasa memiliki," bebas dari "merasa istimewa," dan bebas dari "merasa-merasa" lain yang berpotensi membesarkan egonya.
Sedang bagi pendengar, ia akan bebas dari "merasa punya ilmu baru" atau bebas dari “merasa makin pandai dan lebih baik daripada orang lain” jika ia juga mengembalikan urusannya kepada Tuhan. Pendengar akan merasa senang bukan karena merasa makin pandai, namun karena dibukakan kesadaran oleh Tuhan bahwa dirinya masih banyak tidak tahu, sehingga ia menjadi bersyukur. Rasa syukur itu diwujudkannya dengan berterima kasih kepada Tuhan, kepada si pembicara dan lalu berusaha terus belajar mencari ilmu bukan karena ingin dianggap pintar, namun karena mensyukuri karunia ilahi berupa akal-pikiran dan pengetahuan.
Jadi keduanya tidak punya alasan untuk sombong. Keduanya menjadi punya banyak alasan untuk bersyukur dan takut. Bersyukur karena mendapat pemahaman dari Allah secara tak terduga dan berharap bisa meluruskan niat dan lakunya, sekaligus takut tidak bisa mengamalkan pemahamannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Lingkaran ini merefleksikan aksioma penting: "la haula wala quwwata illah billah." Lalu dari sini muncullah Khauf dan Raja', dua sayap yang, menurut sebagian ahli sufi, akan membawa seseorang terbang lebih dekat ke hadirat Ilahi.
Tuhan sering bekerja dengan cara yang tak terduga untuk mengajari kebaikan agar kita tidak mengklaim bahwa kita lebih istimewa dan penting daripada orang lain hanya karena kita “merasa” sudah lebih paham, lebih cerdas, lebih baik, lebih alim dan lebih benar.
Wa Allahu a'lam