Jumat, 05 Juni 2015

Semacam Coretan

Aku berdiam pada suarasuara kata, hening. Namun aku masih berbicara denganmu, dalam kudus bahasa hati. Aku berjalan pada gemetar langkahnya. Kurasakan langit di bawah telapak kakiku dan dunia mengambang di atas kepala; Berhenti berputar, dalam diam bersamaku. Aku mendengar gemuruh derap langkah di belakangku, langkah-langkah orang yang datang dari masa lalu. Diam; seolaholah mereka mati. Lantas masa lalu memundur beberapa saat. "Maka biarkanlah kuselesaikan jalanku hari ini."

Diriku, bukankah hidup dimulai pada hari terakhir? Ada banyak hari, bukan? Tapi hidup hanyalah seberapa. Dan ketika hanya tersisa satu hari untuk pergi, aku bergegas masuk ke dalamnya dengan keseluruhan harap untuk tinggal di sana. Bukankah dengan cara ini kehidupan dimulai saat itu berakhir? Karena itulah hidup tidak pernah akan hidup! Aku masih menggenggam sehari tersisa, Otakku terus bergumul dengan waktu mencari sebuah jawaban; "Apa yang harus kulakukan? Memulai hidup? Dengan apa akan kumulai hidup ini? Dengan siapa? Bagaimana? Dengan apa? Tindakankah? Atau hanya sekedar ucapan?"

Dan jika kebetulan aku bertemu seseorang, tentang apa yang akan kukatakan padanya? "Denganmu sekarang, kan kumulai hidupku?" Jika kukata ini, dan ia menjawab, "Bagaimana aku hidup? Kuucapkan selamat tinggal? Bagaimana aku menjalani kehidupan kematian?"

Dalam ruang ini hanya ada serpihanserpihan manusia ribuan tahun lalu, pada debudebu mereka yang berserakan kukatakan selamat tinggal. Karena aku akan menjadi serpihan seperti mereka.  Ku ucapkan selamat tinggal kepada lingkar planetplanet yang mencapaiku pada vakum ruang galaksi jauh. Galaksi yang berputar, debudebu bintang yang menyebar, udara yang terlahir berjuta tahun lalu: Pada hening diam.

Kuucapkan selamat tinggal untuk gunung berapi dalam terengahengahannya. Dengan gerimis yang menangisi kematian hati, kuucapkan selamat tinggal kepada riak gelombang yang memukul jasadku. Atau haruskah kubenturkan diriku dengan sendiri untuk menjadi diam? Pada semua berbeda yang aku. Mangsakah pada akhirnya? Karena tiada ku mampu, waktu yang lama, untuk meringankan riuh dunia dari setidaknya satu suara? Tidakkah alam semesta harus beristirahat? Suara semua harus menjadi diam. "Oh, diamlah... untuk beberapa hening yang tenang!"

Aku tidak bisa menggambarkan hari, tidak bisa kujelaskan apaapa. Berbicara tidak lain hanyalah pengkhianatan. Mereka tidak berbicara pada hari terakhir. Mereka hanya diam dan pergi. Bukitbukit itu diam juga. Dan aku, dengan mengaduk matahari dan angin, satusatunya suara. Tapi aku, dengan gerakgerak monoton dalam hening kematian, telah dijerat misteri dari hidup.

Bagaimana yang sederhana sepertiku melemparkan percikan rasa dan warna antara rahang rapuh untuk menciptakan tempattempat yang akan melindungi kita? Bagaimana kami dapat terus sampai hari ini? Aku fana. Nyanyian tasbih dedaunan hati dan reranting kering jiwa menyelamatkan hidupku. Bukan hidup yang kulindungi, tapi kematian.

Kelahiranku dicampur dengan rerumputan. Dan di bawah mereka, tipis telinga dari gandum tanahku menemukan mati. Akui tidak pernah memakai pakaian, pernakpernik atau gelang. Tapi nafasnafasku menjelma kain dan ornamen. Aku telanjang. Kutemukan riam kehangatan pada nyala kayu bakar kelahiran dariku yang terengahengah, kering. Aku hidup dalam kulit, bukan di luar. Tinggal hidup di tempat persembunyian rahasia, di keremangan, di dalam rahim, sebelum lahir.

Perayaan kelahiranku dalam pembuluh darah yang mengalir pelan, bukan dalam riuh dan gemerlapnya kota. Aku menetap di satu tempat dalam dunia imajinasi . Karena aku kafilah di kepalaku, namun tidak di antara jalanjalan kehidupan. Aku dan diriku, kami bertemu hidup sekali, sebelum pintu kematian. Pada masa kecil kami; kami muda dan tua usia.

Aku menoleh dan melihat kembali pada masa sekarang: untuk orangorang hilang tenggelam terkubur tulang sumsum mereka, pada orang yang berdiri di trotoar jalan kehidupan, pada mereka yang mengulurkan juluran tangan mereka yang mencari jalan keluar, sampai orang-orang yang baru saja masuk, dan hampir ku tak tahu apa yang mereka lakukan. Aku menoleh ke belakang dan melihat: ketika aku terdampar dalam lorong sumsum tulang waktu, mungkin telah kubuka jalanku sendiri: Kosong adalah cara. Kekosongan adalah batu.

Harihari yang pergi sekarang, tidak lebih dari sebuah hari untuk memasuki kehidupan.Tapi aku berakhir di sana, dan aku tak pernah masuk. Apa kita hidup dari kehidupan adalah praktek itu. Aku pun hidup sebelum kelahiran. Dalam arteri yang masih terbentuk, dalam rona wajah berbentuk, di dalam ringan isi perut kegelapan. Aku hidup di tepi, antara menjadi dan ketiadaan: Di pintu. Dan bila kucoba keluar, mungkin hancur, seperti tubuh surgawi, di jurang tak berdasar.

Jadi aku tidak berbicara tentang kehidupan. Aku tidak menggambarkan kelahiran, karena tidak ada. Aku tidak menulis tentang cahaya, tapi kegelapan. Tidak mengingat apa, tetapi apa yang seharusnya: Anggapan bahwa ini akhirnya mungkin apa yang kita sebut kehidupan kita. Dan mengucapkan selamat tinggal pada itu, mungkin, satusatunya kepastian yang lebih beberapa detik di depanku.

Aku akan merayakan desir yang menggelorakan pembuluh darahku. Akan kusambut orang-orang yang tibatiba muncul dari kekosongan, dan
menari dengan mereka dalam hening diamku. Ya, di hening diamku..




***
Diketik saat penulis merasai hening dipintu Ramadhan