DINGIN
aku pergi, mith. dari tempat yang lama merawatku lama di dalamnya.
kini, aku sampai di rumah baru, di rumah dulu. tempat manusia
mengembangkan senyumannya untuk menyapa. angin terasa lebih dingin di
puncak ini. kurangkul dingin sendirian, sembari menepikan jarum-jarum
untuk memasukkan benang kecil, lalu kurajut dengan pelan-pelan. seperti
merangkul kesanggupan hidup ini, mith.
dingin ini
banyak ajari aku untuk mengenal dahaga yang tersimpan rapih di dalamnya.
mith, aku harus melepas banyak nama agar aku tak kedinginan dengan
semua kenangan. ketika aku berniat melepasnya, aku kehilangan semuanya.
betapa curam pilihan itu, beginilah kita diadakan. maka, kita memang
paling jeli mengakrabi kedinginan ini. mith, jangan jauh dariku. sampai
kehidupan mana pun, kita bukan masing-masing perintah yang memasang
senjata-senjata tajam dan ledakan untuk menghancurkan kedamaian
orang-orang pribumi sini. tapi mungkin benar, pada akhirnya kita harus
tegar dan tabah memasuki tanda tanya yang lebih kekar.
di
sini tidak sedang hujan, mith. air yang biasa turun dari langit yang
mengabu garang, terpaksa berhenti lama. hujan itu pindah ke hati, di
hatiku sendiri aku masih mencari-cari seorang arsitektur perancang
drainase terhebat di kawasan paling suci manusia miliki. di depanku, ada
quran yang baru tadi ditutup. penuh percakapan yang menjelaskan tentang
hidup, tentang orang beriman dan kekuasaan atas godaan syetan itu.
siapa syetan itu, mith? yang bisa menjelma jadi apa saja semaunya. kita
ini masih manusia kan mith? apa syetan itu bisa merasakan sedih dan
bahagia? muram dan senyum? mungkin yang membedakan, kekonsistenan mereka
lebih serius dan menjurus.
orang tak akan percaya
kalau aku ini keturunan drakulla dan sehu datang tiba-tiba menyadarkan
identitas ini kembali. mith, aku vampire yang sangat baik ya sejauh ini.
rajin beribadah walau tak sampai menjangkau ke dalam, tamat puasa
apalagi harus menahan lapar kehabisan labu di kulkas. orang di sini tak
mau tahu, mith. aku tuh mayat hidup yang kadang update status kalau buka
facebook. iman mereka sudah tinggi-tinggi ya, jadi tak percaya tentang
vampire dan keturunannya.
maka di sinilah, aku
mengurung diri, mith. itikaf. tapi itikaf harus di dalam mesjid, dan
yang dilakukan olehku adalah menjauhi manusia. mith, betapa indah hidup
ini dihidupi oleh rahasia.
Selasa, 10 Desember 2013
Senin, 09 Desember 2013
DI HARI MATA INDAHMU, TUHAN
TETAPLAH DI SINI...
Seorang anak kecil itu kini kulihat ia tumbuh dan berkembang seperti manusia sewajarnya, Tuhan. Sewajar bahagia dan kesedihan menindas raut matanya. Aku senang melihat ia tumbuh dan bergerak menyatakan, cinta diam-diam tumbuh besar di dirinya. Aku terhanyut, ia peluki aku. Seperti akan menjadi pelukkan terakhir. Seolah kami ditantang untuk menghadapi kesempatan terakhir.
Ketinggian. Ia sangat menyukainya. Oh .. Tuhan, ia punya bundaran mata yang indah. Suka menyimak mataku di matanya, ketika kami bicara. Ia tumbuh begitu ajaib, sampai ia dapat berbicara hal yang buatku cukup merasa nyaman. Ia kini sering memanjat, menaiki gunung, dan menaklukan tapal-tapal angkasa.
Kami telah bangun sarang di wilayah rahasia, di dalamnya kami menyekap banyak hal dengan nafas yang acapkali terengah-rengah. Tiap pagi datang, kami merasa senang masih dapat bangun bersama-sama, menyambut hari baru padahal tak pernah melahirkan nama hari baru. Ia bangun dan menjadi senyuman awal, langkah kami masihlah Engkau.
Aku tahu ia masih sangatlah kecil, untuk mengetahui apa yang aku sembunyikan sepanjang hidupku ini. Tapi ia gadis yang pintar, tak pernah bosan untuk ada dalam pertanyaan. Cara itu, buat banyak pengakuan dan kukenalkan juga ia pada-Mu, sejak ia bertanya manusia itu apa? Dan kenapa kita punya cinta tapi ada yang menghakiminya untuk menjadi senjata perang dunia?
Aku katakan padanya, kami harus bertahan. Hidup lebih lama lagi, mempertahankan tali yang sudah diikat jauh ke luar dimensi. Kami tak menjauh dari jiwa yang asing. Ia masih terlalu kecil, untuk menungguku datang dan menemaninya sampai tertidur di atas lenganku.
Ya.. seorang anak kecil itu tumbuh, banyak buatkan inspirasi dalam hari-hari dan ia hidup abadi di hatiku, yang biasanya kujadikan tinta dalam jari-jariku.
-----------------
Di ketik pada tanggal 06 Desember 2013
Ketika penulis menyadari ada gadis kecil menunggunya tiba.
Rabu, 04 Desember 2013
Yang tak bersuara,tapi Cinta
Suara menggerakkanku, dan aku ingin masuk ke dalam sekotak musik yang kau punyai di bawah bantal. Mungkin, aku bisa terus menari seperti balerina yang digantung mati ketika diketahui kekasihnya harus menerima hukuman serupa Galileo. Jiwa kecilku sangat kekanak-kanakkan, suka menangis di dalam dan tanpa alasan yang rasional menambalnya dengan kepedihan la-gi, seperti mendapati kabar kesedihan terdalam... ialah merima bangkitkanya seribu kematian yang berulang.
hati kecilku sering menciut
dipaksa berjalan ke pasar zombie
teriakan dan gontaian langkah
ambruk satu-satu, mati kutu.
Kekasihku begitu ghaib, buat hampa sekaligus tanya dan cinta. Malam-malam seperti ini, aku ingin masuk ke suara itu. -Mu. Yang dibakar oleh api dunia, tapi sedingin syurga yang diterima Ibrahim..
cinta yang membisik
kematian yang membisik
takdir yang membisik
aku ingin membisikan itu.
kau kutu buku yang nakal
membisikan dzikir...
dikebutuhanku.
--------------------------
Diketik pada tanggal 28 November 2013
Saat hati merasa begitu kronis menyikapi penampakan yang begitu tak asing dan dingin.
cinta yang membisik
Rabu, 23 Oktober 2013
Pelajaran Hikmah Part.7
Abu Yazid al Bisthami
lahir pada tahun 874 M adalah seorang Persia, berasal dari Bistham, wilayah
Qum, di mana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai guru di
sana. Dia adalah seorang asketik yang menyendiri dengan satu tujuan, yakni
mengejar pengalaman tentang hakikat Ilahi. Dia banyak dikutip oleh
penulis-penulis selanjutnya dan memiliki pengaruh yang luas terhadap perkembangan
sufisme, khusunya yang mengarah pada doktrin panteistis. Ia disebut-sebut
sebagai guru sufi yang pertama kali mengajarkan faham fana' dan baqa.
Pengalaman Abu Yazid yang ucapannya (pada saat sukr) kadang-kadang sulit
dipahami oleh orang awam, menyebabkan sebagian ulama menentangnya. Berikut ini
beberapa ujaran Abu Yazid :
Awalnya aku melakukan
empat kesalahan. Aku menyuntukkan diri untuk mengingat Tuhan, untuk
mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan mencari-Nya. Ketika aku telah sampai di
ujung perjalanan, aku menyaksikan bahwa Dia telah mengingatku sebelum aku
mengingat-Nya. Pengetahuan-Nya tentang aku telah mendahului pengetahuanku
tentang Dia. Cinta-Nya terhadapku telah lama ada sebelum cintaku kepada-Nya dan
Dia telah mencari aku sebelum aku mencari-Nya.
Ketika aku tertidur,
tampak bagiku telah kudaki langit untuk mencari Tuhan, mencari kemanggulan
Tuhan Yang Maha Mulia, sehingga aku bisa bersemayam bersama-Nya untuk
selamanya, dan aku diuji dengan satu cobaan. Tuhan memperlihatkan semua jenis
hadiah dan menawariku penguasaan seluruh semesta langit. Tetapi aku palingkan
mataku, karena aku tahu bahwa Dia sedang mengujiku, dan aku sama sekali tidak
melihatnya, karena takzimku kepada kesucian Tuhanku.
Kemudian aku mendaki
Langit Kedua dan melihat malaikat-malaikat bersayap, yang terbang ratusan ribu
kali setiap harinya ke bumi, untuk mengamati wali-wali Tuhan, dan wajah-wajah
mereka bersinar laksana matahari. Kuteruskan perjalanan, dan ketika sampai ke
Langkit Ketujuh, seseorang menyentakku, "Wahai Abu Yazid, berhenti, karena
kau telah sampai pada tujuanmu." Tetapi aku tak menghiraukan kata-katanya
dan meneruskan pengembaraanku.
Ketika Tuhan Yang Maha
Tinggi merasakan sentuhan ketulusan hasrat jiwaku kepada-Nya, Dia mengubahku
menjadi seekor burung, dan aku pun terbang melewati kerajaan demi kerajaan,
gurun demi gurun, dan daratan demi daratan, lautan demi lautan, dan selubung
demi selubung, sampai akhirnya menyaksikan malaikat di kaki Tuhan menemuiku
dengan seberkas cahaya dan berkata kepadaku, "Ambillah," dan aku
mengambilnya. Dan demikianlah, langit-langit dan semua yang ada di sana mencari
perlindungan dalam teduh bayang ma'rifatku, dan mencari cahaya dalam cahaya
kerinduanku.
Aku melanjutkan
penerbanganku sampai aku tiba di atas samudera cahaya, lalu kulanjutkan lagi
hingga aku meraih samudera terbesar yang di atasnya berdiri Singgasana Yang
Maha Pengampun. Dan ketika Tuhan Yang Maha Agung melihat ketulusanku
mencarinya, Dia mendekatiku dan berkata, "Wahai manusia pilihan-Ku,
mendekatlah ke arah-Ku dan dakilah ketinggian kemuliaan-Ku dan daratan
kemegahan-Ku dan duduklah di atas karpet kesucian-Ku, agar kau bisa menyaksikan
karya keagungan-Ku.
Kemudian aku mulai
meleleh, seperti timah meleleh dalam panasnya bara. Kemudian Dia memberiku
minuman dari sumber Keagungan dalam cangkir keintiman dan mengubahku ke dalam
keadaan yang tak tergambarkan dan membawaku mendekat kepada-Nya, sedemikian
dekatnya sehingga aku menjadi lebih dekat dengan-Nya daripada ruh dalam tubuhku
sendiri. Aku terus berlanjut bahkan sampai aku menjadi jiwa-jiwa manusia
sebelumnya, sebelum adanya keberadaan dan Tuhan berdiam dalam kesendirian yang
sunyi, tanpa makhluk ciptaan atau ruang, Maha Suci Allah lagi Maha Mulia
Pelajaran Hikmah Part.6
Muhiyiddin
Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi
at-Ta'i (1165-1240) atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi adalah seorang sufi
amat terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Ibnu Arabi adalah
keturunan Arab kuno dan ayahnya Ali ibn al-'Arabi adalah seorang yang
berkedudukan tinggi dan berpengaruh. Ibnu Arabi adalah guru sufi yang terkenal
dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu
pun yang wujud kecuali Tuhan, segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan
lahiriah dari-Nya. Menurutnya, keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan
Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah
perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Awal
dari ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) adalah diangkatnya selubung, dan
hadirnya kesepahaman, serta perenungan pada yang tak kasat mata, dan percakapan
rahasia, dan memandang yang tidak ada, dan ini berarti kau telah beranjak dari
tempat asalmu.
Ekstase
adalah persinggahan pertama bagi kaum pilihan dan ia adalah warisan kepastian
dari hasrat, dan bagi mereka yang telah mengalaminya, ketika cahayanya telah
tersebar luas ke penjuru kalbu, semua keraguan dan kecurigaan meninggalkan
mereka. Siapa yang terselimuti dari ekstase dan dikuasai oleh keakuannya
sendiri, terhalang oleh kehidupan dan oleh maksud-maksud duniawi, karena
keakuan terselubung oleh maksud-maksud semacam ini. Tetapi jika maksud-maksud
duniawi dihilangkan dan pengabdian diri kepada Tuhan disucikan dari kepentingan
pribadi dan kalbu kembali dimurnikan dan disucikan serta mengindahkan
peringatan, ketika kalbu menyembah Tuhan dan mengutarakan doa-doanya dalam
percakapan intim dengan-Nya, semakin dekatlah dia ke arah-Nya. Dia berbicara
kepadanya dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ekstase
di dunia ini tidak berasal dari penyingkapan, tapi dari penglihatan kalbu dan
kesadaran akan kebenaran dan keyakinan, dan siapa yang telah mengejarnya
menyaksikan dengan luapan kegembiraan dan dengan pengabdian yang bebas hawa
nafsu. Ketika ia terjaga dari penglihatan itu, dia kehilangan apa yang telah
dia temukan, tapi pengetahuannya masih bersamanya, dan untuk waktu yang lama,
ruhnya menikmatinya.
Jika
seseorang meminta penjabaran lebih lanjut tentang ekstase, suruhlah dia
berhenti menanyakannya, sebab bagaimana mungkin sesuatu dapat dijabarkan jika
ia tidak memiliki penjelasan kecuali dirinya sendiri, dan tiada kesaksian
kecuali dirinya. Siapa yang bertanya tentang aroma dan rasasanya berarti
bertanya tentang kemustahilan, sebab aroma dan rasa tidak dikenal dengan
penjabaran, melainkan dengan mengecap dan mengalaminya.
Pelajaran Hikmah Part.5
Raja Burung Seperti Burung Juga
Dalam
kitab Musyawarah Burung (Mantiqu’t Thair) mahakarya Fariduddin Attar,
seorang guru sufi Persia abad ke-12, diceriterakan tentang berkumpulnya segala
jenis burung menyelenggarakan musyawarah. Makhluk bersayap ini sadar bahwa
ternyata kerajaan burung tak memiliki raja. Padahal tegaknya pemerintahan suatu
negeri tergantung kepemimpinan sang raja. Hal ini sungguh menggelisahkan para
burung.
Lalu
tampillah Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman, memimpin mereka. “Aku
memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan,” kata Hudhud di
tengah majelis. Ia bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai raja sejati,
Simurgh namanya, tinggal di balik gunung Kaf. Ia raja segala burung. Raja
burung yang perkasa ini dekat dengan mereka, tapi mereka jauh darinya. Tempat
persemayamnya tak dapat dicapai karena jalan menujunya tidak dikenal, dan tak
ada yang berteguh hati mencarinya, meskipun ribuan makhluk melewatkan hidupnya
dalam kerinduan. Ia bermandikan kesempurnaan, keagungan, dan kesucian. Di muka
Simurgh tergantung seratus ribu tabir cahaya dan kegelapan. Ia tak menampakkan
diri sepenuhnya meski di tempat persemayamannya sendiri, bahkan jiwa yang
paling suci pun tak dapat melukiskannya, dan akal budi tak pula dapat memahami.
Uraian
Hudhud memikat majelis burung. Dengan penuh semangat, majelis membicarakan
keagungan raja mereka. Lalu mereka tak sabar lagi, ingin segera berangkat
bersama-sama mencarinya. Tapi ketika menyadari betapa jauh dan sulitnya
perjalanan yang akan ditempuh, banyak yang jadi ragu. Mereka mengurungkan niat
berangkat dengan dalihnya masing-masing. Bulbul, misalnya, tak mungkin
meninggalkan tempat karena begitu besar hasratnya untuk menyanyikan senandung
cinta. Merak dan burung Hantu enggan meninggalkan harta dan kemewahannya.
Rajawali tak ingin melewatkan kegembiraan melayani raja maupun berburu menurut
kesukaannya. Burung Gereja mengeluhkan keadaan fisiknya yang lemah. Itik dan
bangau sudah merasa puas di permukaan air. Namun, akhirnya Hudhud mampu
meyakinkan mereka.
Perjalanan
menuju Simurgh satu-satunya tujuan dalam hidup, meski amat sukar ditempuh
karena melewati tujuh lembah, yakni lembah pencarian, lembah cinta, lembah
keinsyafan, lembah kebebasan dan keterlepasan, lembah keesaan, lembah keheranan
dan kebingungan, lembah keterampasan dan kematian. Hanya dengan cinta dan
penyerahan diri segala kesulitan dapat diatasi. Mereka pun berangkat.
Ribuan burung tidak
berhasil sampai di tujuan akhir perjalanan, sebagian mati kehausan atau
dimangsa harimau, sebagian tersesat di hutan dan di gunung, sebagian lagi letih
dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Akhirnya tinggal 30 ekor saja yang
sampai di istana Simurgh. Dan ketika tabir demi tabir dibuka dan mereka
bertatap muka dengan Sang Raja, mereka pun takjub dengan pemandangan yang
dilihatnya. Ternyata mereka tak berbeda dengan-Nya. Tiga puluh (si-murgh)
burung adalah Simurgh, dan Simurgh adalah tiga puluh burung itu sendiri
Selasa, 22 Oktober 2013
Mendengarkan lagu Boyce Avenue dalam alur yang sedikit berbeda
Mendengarkan Lagu Broken Angel - Boyce Avenue
Disela sela waktu yang begitu menyesakan dada tidak sengaja saya menemukan lagu ini ditengah deretan daftar lagu yang banyak mengisi daftar putar handphoneku entah perasaan apa yang membuat saya tiba tiba begitu ingin mendengarnya,diluar dari alasan karena saya dibuatnya penasaran oleh judul dri lagu ini "Broken Angel" apa yang dialami malaikat ini pikirku sambil terus memperhatikan makna dlam setiap bait kata katanya,
bait pertama kupikir lagu ini tentang seseorang yang mencintai dengan diam-diam, cinta yang tulus yang rela cintanya bahagia dengan orang lain, dan tidak rela jika ia disakiti pasangannya. Ternyata aku salah. Lagu ini memang tentang hubungan segi tiga, tapi bukan sebagai kekasih, melainkan seorang pemuda yang tinggal bertetangga dengan gadis yang disayanginya, yang sedang berjuang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Kita simak aja yuk….
You showed him all the best of you
But I'm afraid your best
Wasn't good enough
And know he never wanted you
Kau berdandan cantik hari itu. Aku saja sampai terkesima melihatmu. Kau mengetuk pintu rumah di depan rumahku. Aku tahu dari bahasa tubuhmu bahwa kau ragu. Sorot matamu yang memandangi pintu dengan penuh harap, membuatku penasaran siapakah dirimu.
Lelaki itu keluar. Aku sudah melihatnya tinggal di sana bertahun-tahun, tapi aku tak benar-benar mengenalnya. Kernyitan di dahinya memberi petunjuk padaku bahwa dia tidak mengenalmu. Lalu kulihat, dia sepertinya membentakmu, menuding-nuding dirimu, dan menutup pintu meninggalkanmu termangu. Dia sama sekali tidak terkesima dengan pesonamu. Aku jadi ingin tahu, siapakah dirimu.
Lama setelah kejadian hari itu, aku melihatmu sudah tinggal di sana, dan kau memperkenalkan dirimu sebagai anak dari lelaki itu. Aku tidak ingin tanya bagaimana ceritanya, kecuali kau mau bercerita sendiri padaku. Kita jadi dekat akhir-akhir ini, tapi kau tetap tidak mau berbagi alasan mengapa matamu selalu berkaca-kaca tiap kali berpapasan dengan ayahmu. Dia juga selalu menghindarimu, seolah kau ini lalat yang harus selalu disingkirkan. Aku tahu dia mendengarmu saat kau memanggil namanya, tapi dia tak menggubrismu. Dan selama itu, kau hanya menerimanya begitu saja.
At least not the way
You wanted yourself to be loved
And you feel like you were a mistake
He's not worth all those tears that won't go away
Kau selalu baik padanya meski dia mengacuhkanmu. Kau tetap menyapanya, memanggilnya ayah meski dia berulang kali melarangmu begitu, bahkan memukulimu. Kau memasak untuknya,meski kemudian ia lemparkan ke keranjang sampah di belakang rumah, dan kau hanya menangis dari jendela. Kau terus berusaha membuatnya merasa nyaman meski tak digubris bahkan dikasari. Kau perempuan baik, kenapa tak pergi saja dari situ?
I wish you could see that
Still you try to impress him
But he never will listen
Kulihat kau tahu bahwa dia sengaja melakukannya untuk membuatmu terluka dan menyingkir dari hidupnya. Tapi kau bertahan. Kau terus mencoba membuatnya menyadari kehadiranmu, dalam arti positif, mengakuimu sebagai putrinya dan berbuat baik padamu.
Oh broken angel
Were you sad when he crushed all your dreams
Oh broken angel
Inside you're dying 'cause you can't believe
Sayangku (entah mengapa aku tiba-tiba menyayangimu), bukankah kau terluka tiap hari karenanya? Bukankah dia selalu mengikis harapanmu? Aku tahu kau hanya pura-pura kuat karena kau yakin sosok ayah yang diceritakan padamu tidak sekejam itu. Kau bertahan mempercayai kebaikannya akan muncul suatu saat nanti. Tapi, aku juga tahu kau merana dalam hati karena kenyataan yang kau hadapi tak seperti yang kau yakini.
And now you've grown up
With this notion that you were to blame
And you seem so strong sometimes
But I know that you still feel the same
As that little girl who shined like an angel
Even after his lazy heart put you through hell
Aku melihatmu setiap hari, menyaksikan kau tumbuh semakin dewasa, semakin bertambah cantik dan matang menghadapi dunia. Ayahmu semakin terpuruk sepertinya. Ia sering kulihat pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, atau membawa perempuan-perempuan yang tawanya memuakkan. Kau akan menyingkir ke rumahku jika ia mulai kasar padamu. Kau tetap tersenyum, meski aku tahu kau terluka. Berkali-kali kau bilang bahwa ayahmu jadi pemabuk setelah ada dirimu di rumah itu. Aku selalu meyakinkanmu, tidak, Sayangku, bukan salahmu kalau ayahmu menghancurkan dirinya sendiri. Kau tetap tersenyum dan menanamkan sendiri di otakmu bahwa pasti ada sesuatu yang mendasari kebencian ayahmu padamu, dan kau tidak berani menanyakannya, dan ayahmu pun tak mau repot-repot menjelaskan padamu. Aku tidak bisa memperbaiki hal itu, Sayangku. Aku hanya bisa menghiburmu.
He would leave you alone
And leave you so cold
When you were his daughter
But the blood in your veins
As you carry his name
Turns thinner than water
You're just a broken angel
Aku melihat kau bekerja setiap hari, membeli makanan seadanya, berpakaian sekedarnya. Saat kau kecil dulu, kau tak pernah membawa uang saku atau bekal ke sekolah. Kau mencuci bajumu sendiri, memasak sendiri, semua kau kerjakan sendiri. Bertahun-tahun, tak sekalipun ayahmu mengajakmu mengobrol. Hanya makian yang ia keluarkan jika ingin bersuara di hadapanmu. Kau pasti sedih sekali. Tapi kau kuat, karena bagaimanapun, hanya dia keluargamu.
And I promise that it's not your fault
It was never your fault
And I promise that it's not your fault
It was never your fault...
Bukan salahmu lahir ke dunia ini. Bukan salahmu kehilangan ibumu dan harus mengemis pada ayahmu. Bukan salahmu pula kalau kau malah menyayangi lelaki kasar itu. Kau tidak bisa memilih takdirmu. Jadi, jalani saja, bersabarlah sampai sinar kebahagiaan menyambutmu. Setidaknya, kau tidak sendirian di dunia ini.
Disela sela waktu yang begitu menyesakan dada tidak sengaja saya menemukan lagu ini ditengah deretan daftar lagu yang banyak mengisi daftar putar handphoneku entah perasaan apa yang membuat saya tiba tiba begitu ingin mendengarnya,diluar dari alasan karena saya dibuatnya penasaran oleh judul dri lagu ini "Broken Angel" apa yang dialami malaikat ini pikirku sambil terus memperhatikan makna dlam setiap bait kata katanya,
bait pertama kupikir lagu ini tentang seseorang yang mencintai dengan diam-diam, cinta yang tulus yang rela cintanya bahagia dengan orang lain, dan tidak rela jika ia disakiti pasangannya. Ternyata aku salah. Lagu ini memang tentang hubungan segi tiga, tapi bukan sebagai kekasih, melainkan seorang pemuda yang tinggal bertetangga dengan gadis yang disayanginya, yang sedang berjuang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Kita simak aja yuk….
You showed him all the best of you
But I'm afraid your best
Wasn't good enough
And know he never wanted you
Kau berdandan cantik hari itu. Aku saja sampai terkesima melihatmu. Kau mengetuk pintu rumah di depan rumahku. Aku tahu dari bahasa tubuhmu bahwa kau ragu. Sorot matamu yang memandangi pintu dengan penuh harap, membuatku penasaran siapakah dirimu.
Lelaki itu keluar. Aku sudah melihatnya tinggal di sana bertahun-tahun, tapi aku tak benar-benar mengenalnya. Kernyitan di dahinya memberi petunjuk padaku bahwa dia tidak mengenalmu. Lalu kulihat, dia sepertinya membentakmu, menuding-nuding dirimu, dan menutup pintu meninggalkanmu termangu. Dia sama sekali tidak terkesima dengan pesonamu. Aku jadi ingin tahu, siapakah dirimu.
Lama setelah kejadian hari itu, aku melihatmu sudah tinggal di sana, dan kau memperkenalkan dirimu sebagai anak dari lelaki itu. Aku tidak ingin tanya bagaimana ceritanya, kecuali kau mau bercerita sendiri padaku. Kita jadi dekat akhir-akhir ini, tapi kau tetap tidak mau berbagi alasan mengapa matamu selalu berkaca-kaca tiap kali berpapasan dengan ayahmu. Dia juga selalu menghindarimu, seolah kau ini lalat yang harus selalu disingkirkan. Aku tahu dia mendengarmu saat kau memanggil namanya, tapi dia tak menggubrismu. Dan selama itu, kau hanya menerimanya begitu saja.
At least not the way
You wanted yourself to be loved
And you feel like you were a mistake
He's not worth all those tears that won't go away
Kau selalu baik padanya meski dia mengacuhkanmu. Kau tetap menyapanya, memanggilnya ayah meski dia berulang kali melarangmu begitu, bahkan memukulimu. Kau memasak untuknya,meski kemudian ia lemparkan ke keranjang sampah di belakang rumah, dan kau hanya menangis dari jendela. Kau terus berusaha membuatnya merasa nyaman meski tak digubris bahkan dikasari. Kau perempuan baik, kenapa tak pergi saja dari situ?
I wish you could see that
Still you try to impress him
But he never will listen
Kulihat kau tahu bahwa dia sengaja melakukannya untuk membuatmu terluka dan menyingkir dari hidupnya. Tapi kau bertahan. Kau terus mencoba membuatnya menyadari kehadiranmu, dalam arti positif, mengakuimu sebagai putrinya dan berbuat baik padamu.
Oh broken angel
Were you sad when he crushed all your dreams
Oh broken angel
Inside you're dying 'cause you can't believe
Sayangku (entah mengapa aku tiba-tiba menyayangimu), bukankah kau terluka tiap hari karenanya? Bukankah dia selalu mengikis harapanmu? Aku tahu kau hanya pura-pura kuat karena kau yakin sosok ayah yang diceritakan padamu tidak sekejam itu. Kau bertahan mempercayai kebaikannya akan muncul suatu saat nanti. Tapi, aku juga tahu kau merana dalam hati karena kenyataan yang kau hadapi tak seperti yang kau yakini.
And now you've grown up
With this notion that you were to blame
And you seem so strong sometimes
But I know that you still feel the same
As that little girl who shined like an angel
Even after his lazy heart put you through hell
Aku melihatmu setiap hari, menyaksikan kau tumbuh semakin dewasa, semakin bertambah cantik dan matang menghadapi dunia. Ayahmu semakin terpuruk sepertinya. Ia sering kulihat pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, atau membawa perempuan-perempuan yang tawanya memuakkan. Kau akan menyingkir ke rumahku jika ia mulai kasar padamu. Kau tetap tersenyum, meski aku tahu kau terluka. Berkali-kali kau bilang bahwa ayahmu jadi pemabuk setelah ada dirimu di rumah itu. Aku selalu meyakinkanmu, tidak, Sayangku, bukan salahmu kalau ayahmu menghancurkan dirinya sendiri. Kau tetap tersenyum dan menanamkan sendiri di otakmu bahwa pasti ada sesuatu yang mendasari kebencian ayahmu padamu, dan kau tidak berani menanyakannya, dan ayahmu pun tak mau repot-repot menjelaskan padamu. Aku tidak bisa memperbaiki hal itu, Sayangku. Aku hanya bisa menghiburmu.
He would leave you alone
And leave you so cold
When you were his daughter
But the blood in your veins
As you carry his name
Turns thinner than water
You're just a broken angel
Aku melihat kau bekerja setiap hari, membeli makanan seadanya, berpakaian sekedarnya. Saat kau kecil dulu, kau tak pernah membawa uang saku atau bekal ke sekolah. Kau mencuci bajumu sendiri, memasak sendiri, semua kau kerjakan sendiri. Bertahun-tahun, tak sekalipun ayahmu mengajakmu mengobrol. Hanya makian yang ia keluarkan jika ingin bersuara di hadapanmu. Kau pasti sedih sekali. Tapi kau kuat, karena bagaimanapun, hanya dia keluargamu.
And I promise that it's not your fault
It was never your fault
And I promise that it's not your fault
It was never your fault...
Bukan salahmu lahir ke dunia ini. Bukan salahmu kehilangan ibumu dan harus mengemis pada ayahmu. Bukan salahmu pula kalau kau malah menyayangi lelaki kasar itu. Kau tidak bisa memilih takdirmu. Jadi, jalani saja, bersabarlah sampai sinar kebahagiaan menyambutmu. Setidaknya, kau tidak sendirian di dunia ini.
Kamis, 10 Oktober 2013
Rumah Untuk Ibu
Ibu, ingin sekali kusampaikan pada air matamu
bahwa anakmu tidak hilang di belantara
masih kuingat jalan anak sungai
yang sempat menuntunku ke pintu masjid
sekarang, ketika genap kepalaku
saatnya kucari dan kubangun rumah untukmu
minimal, aku bisa menautkan engkau
dengan yang mampu menggendongmu
ke tempat yang semestinya ibu
Duh Ibu, terkadang bayang-bayang serupa jahanam
mengekor di kepalaku yang baru saja lengkap
ia menari-nari, bahkan sesekali mangajakku berdansa
lantas menjelma belati yang teracungkan ke arahmu
belati itu membunuhku sebelum akhirnya menusuk perut
yang lama menjadi rumahku
Duh Ibu, malam-malam selalu saja diselimuti kegelisahan
sebelum ketakutan menjadi bayang-bayang pagi
terselip di sela-sela ruang tubuhku
gambar-gambar jelaga
dari api yang menjilat tubuhmu
Ibu, bagaimana jika anakmu ini justru yang membangun
rumah untukmu di atas api? seraya merobohkan
rumah yang kau bangun di antara bunga-bunga taman
Oh, Ibu
Jahanam itu
Jelaga itu
api itu
Oh...
Ibu
sebab itu Ibu, selalu
ketika tidak ada lagi mampu
kudoakan seperti yang pernah kau ajarkan
lewat senyuman, lewat air mata dan lainnya
bahkan ketika kota-kota telah memenjara
Ibu, anakmu tidak hilang di belantara
aku sedang membangun rumah untukmu
dengan doa-doa yang engkau panjatkan
2013
Pelajaran Hikmah part.4
SIFAT ORANG ARIF …. MENUJU ALLAH
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia
menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah
Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau
yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya.
Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka.
Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam.
Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya.
Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna. Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.” Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.” Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.
Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah).
Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan).
Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak.
Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya.
Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka.
Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam.
Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya.
Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna. Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.” Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.” Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.
Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah).
Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan).
Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak.
Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”
Menikmati Kehilangan
BUNGA LELAYU
aku selalu bertanya-tanya;
mengapa air mata menetes
ketika bunga-bunga ditabur di gundukan tanah
aku selalu bertanya-tanya;
mengapa bunga-bunga ditabur
mengiringi air yang keluar dari sembunyi
aku selalu bertanya-tanya;
apakah benar, kehilangan itu menyakitkan?
tetapi kenapa ada bunga?
apakah benar, kehilangan itu menyedihkan?
tetapi kenapa tak menangis
ketika mata menangis?
aku selau bertanya-tanya;
di atas makamku sendiri
kulihat semburat ibu
berwajah ungu
pelan-pelan aku menuju ibu
cepat-cepat ibu menuju aku
sejengkal-selangkah
selangkah-sepuluh
sepuluh-lari
lari-ia di nadi
kenapa kau selalu bertanya?
sebab aku mencari jawab
kenapa kau mencari
aku rindu
kenapa rindu?
aura ungu berkelebat di dada
Ibu, apakah benar kehilangan
menyakitkan dada
apa mungkin sebab kepala
yang terlampau jauh dari dada
atau mungkin sebab kita manusia?
tetapi Langit menangis,
awan mendung
tanah kerontang
hawa sumuk
air kering
apakah mereka juga tahu
bahwa kehilangan itu benar-benar pilu
ah, ibu
2013
aku selalu bertanya-tanya;
mengapa air mata menetes
ketika bunga-bunga ditabur di gundukan tanah
aku selalu bertanya-tanya;
mengapa bunga-bunga ditabur
mengiringi air yang keluar dari sembunyi
aku selalu bertanya-tanya;
apakah benar, kehilangan itu menyakitkan?
tetapi kenapa ada bunga?
apakah benar, kehilangan itu menyedihkan?
tetapi kenapa tak menangis
ketika mata menangis?
aku selau bertanya-tanya;
di atas makamku sendiri
kulihat semburat ibu
berwajah ungu
pelan-pelan aku menuju ibu
cepat-cepat ibu menuju aku
sejengkal-selangkah
selangkah-sepuluh
sepuluh-lari
lari-ia di nadi
kenapa kau selalu bertanya?
sebab aku mencari jawab
kenapa kau mencari
aku rindu
kenapa rindu?
aura ungu berkelebat di dada
Ibu, apakah benar kehilangan
menyakitkan dada
apa mungkin sebab kepala
yang terlampau jauh dari dada
atau mungkin sebab kita manusia?
tetapi Langit menangis,
awan mendung
tanah kerontang
hawa sumuk
air kering
apakah mereka juga tahu
bahwa kehilangan itu benar-benar pilu
ah, ibu
2013
Pelajaran Hikmah part.3
silahturahmi ruhiah dengan habib munzir rahimallahu alaihi..
.....
RASULULLAH SAW. SELALU ADA DI SAMPINGMU WALAU TAK JUMPA DALAM MIMPIMU
“Kisah Perjumpaan Al-Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa dengan Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Madinah)”
Kalau bukan karena ingin menyemangati, saya tak akan menjawabnya. Ruh beliau Saw. senantiasa hadir dalam majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Banyak para jamaah bermimpi melihat Ahlul Badr, Ahlul Uhud, para wali masa lalu, bahkan para nabi, hadir di majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Ruh Rasul Saw. sudah ada sebelum 1 orang pun sampai dan tidak keluar sebelum tak tersisa 1 orang pun.
Ketika saya sudah lama bertahun-tahun tidak jumpa dengan al-Habib Zein bin Smith Madinah, karena beberapa kali beliau ke Indonesia saya tak sempat jumpa, maka ketika jumpa saya tertunduk-tunduk mencium tangan beliau. Maka al-Habib Zein dengan santainya berkata: “Ahlan wahai Mundzir.”
Saya berkata: “Wahai Habibana Zein, bagaimana Habib masih kenal nama saya padahal saya lama tak jumpa Habibana?”
Beliau menjawab: “Bagaimana aku lupa namamu, kau tiap malam ada di hadirat Rasulullah Saw.”
Hampir saya jatuh pingsan mendengar ucapan itu, dan beliau dengan santainya pergi begitu saja menghadapi tamu-tamu lain.
Pahala agung, ketika Anda rindu pada Rasul Saw., saat itulah Rasul Saw. sedang rindu pada Anda. Saya mempunyai teman di suatu wilayah yang sangat rindu dengan Rasul Saw. dan terus menangis jika mendengar kisah Rasul Saw. Namun ia belum juga mimpi Rasul Saw.
Lalu saya bermimpi, bahwa Rasul Saw. berpesan: “Katakan pada pemuda itu tiap kalau ia menangis merindukanku, aku ada di sampingnya, dan aku tidak meninggalkan ranjangnya sampai ia tidur pulas. Namun ketentuan pertemuan adalah di tangan Allah Swt.”
Orang yang rindu pada Rasul Saw. maka ia telah dirindukan oleh Rasul Saw.
Sya’roni As-Samfuriy, Cipayung 07 September 2013
Pelajaran Hikmah Part 2
Ali
Ibn Muwaffaq menceritakan, “Aku bermimpi seolah-olah masuk surga. Aku
melihat seorang laki-laki sedang berada dalam satu hidangan makan. Dua
orang malaikat di kanan dan kiri menyuapi makanan yang tampak begitu
lezat. Dia pun tampak sangat menikmati hidangan tersebut. Aku juga
melihat seorang laki-laki sedang berdiri mengawasi wajah-wajah manusia
yang berada di situ. Sebagian dipersilahkan masuk, sebagian lagi
ditolak. Aku melewati dua orang lelaki itu menuju ke hadirat-Nya Yang
Mahasuci.
Lalu, di tenda Arsy aku melihat seorang laki-laki lain
lagi. Matanya melotot tak berkedip sedang memandang Allah SWT. Aku
beranikan diri untuk bertanya pada malaikat Ridhwan, “Siapakah gerangan
orang ini?”
“Dia itu Ma’ruf Al-Karkhi. Dia ini adalah hamba Allah yang tidak takut neraka dan tidak rindu pada
surga, tetapi cinta kepada Allah SWT. Maka, dia diizinkkan untuk
memandangi-Nya hingga Hari Kiamat.’ Menurut malaikat tersebut, dua
lainnya adalah Bisyr Ibn Harits dan Ahmad bin Hambal.”
Abu Sulaiman
mengatakan, “Barangsiapa saja yang hari ini sibuk dengan dirinya
sendiri, maka besok juga sibuk dengan dirinya sendiri. Barangsiapa yang
hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok dia juga sibuk dengan
Tuhannya.”
Ats-Tsauri suatu ketika bertanya pada Rabi’ah
Al-Adawiyah, “Apa hakikat imanmu?” Dia pun menjawab, “Aku tidak
menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga-Nya. Aku tidak
seperti seorang buruh yang jahat. Aku menyembah-Nya semata-mata karena
cinta dan rindu kepada-Nya.”
---Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah wa As-Sawq wa Al-Uns wa Ar-Ridha
Senin, 07 Oktober 2013
Pelajaran Hikmah Part.1
SHALAT SEJATI DARI IBNU ARABI
Alkisah.
Ada seorang anak muda yang jika dibacakan Al-Quran di
hadapannya, maka wajahnya berubah menjadi pucat. Ketika gurunya bertanya
kepada orang dekatnya tentang apa penyebabnya, ternyata anak muda ini
telah shalat malam dengan membaca seluruh surah Al-Quran. Mendengar hal
itu, sang guru bertanya langsung kepada pemuda tersebut:
“Anakku, menurut kabar, malam tadi engkau shalat dengan membaca seluruh ayat Al-Quran. Benarkah?” tanya sang guru.
“Benar, guru,” jawab anak muda.
“Anakku, bisakah engkau nanti malam menghadirkan aku di arah kiblatmu, dan jangan lupa kepadaku,” pinta guru.
“Baiklah guru,” jawabnya.
Keesokan harinya, sang guru bertanya, “Sudahkah kau lakukan apa yang aku minta?”
“Sudah guru.”
“Apakah kau mengkhatamkan Al-Quran tadi malam?”
“Tidak guru. Aku tak sanggup membaca lebih dari separo Al-Quran.”
“Bagus..bagus... Nanti malam, hadirkan di depanmu siapa saja di antara
para sahabat Rasulullah SAW yang engkau sukai. Tapi, waspadalah, karena
mereka telah mendengar Al-Quran langsung dari Rasul. Maka, kau jangan
salah dalam bacaannya.”
“Baiklah, Guru.”
Keesokan harinya, sang
guru bertanya kepada muridnya tentang apa yang terjadi pada malam hari.
Anak muda itu menjawab, “Guru, aku tak sanggup membacanya lebih dari
seperempat Al-Quran.”
“Baiklah, anakku, nanti malam hadirkan Rasulullah SAW di hadapannya. Dan, ingatlah di depan siapa engkau membaca Al-Quran.”
“Baiklah, guru.”
Lalu, keesokan harinya, sang guru kembali bertanya tentang peristiwa
yang terjadi pada anak muda itu ketika shalat. Lalu, pemuda itu
menjawab, “Guru, aku hanya sanggup membaca beberapa ayat Al-Quran saja
saat shalat tadi malam.”
“Ok. Nanti malam, bertobatlah kepada Allah
dan bersiap-siaplah. Ketahuilah bahwa orang yang mengerjakan shalat itu
sebenarnya sedang bermunajat kepada Tuhannya, dan engkau berdiri di
hadapan-Nya sambil membaca kalam-Nya untuk-Nya. Karena itu,
perhatikanlah bagian dirimu, bagian Al-Quran dan bagian-Nya. Kajilah apa
yang engkau baca. Tujuan membaca Al-Quran bukan sekadar membaca
huruf-huruf dan susunannya, serta penuturan ucapan dan ungkapannya
belaka. Tapi, tujuannya adalah mengkaji makna-makna ayat yang engkau
baca sehingga engkau tidak menjadi orang bodoh.”
Kemudian, keesokan
harinya, sang guru menunggu berita dari muridnya. Tapi, sayang sekali
anak muda itu tak kunjung datang. Lalu, dia mengutus muridnya yang lain
untuk menanyakan keadaanya. Akhirnya, diperoleh kabar bahwa pemuda itu
jatuh sakit.
Sang guru pun berangkat menjenguknya. Namun, saat anak
muda itu melihat gurunya, ia menangis sejadi-jadinya, dan berkata:
“Semoga Allah membalas kebaikanmu kepadaku. Aku tidak pernah menyadari
bahwa diriku berdusta kecuali pada malam tadi. Aku berdiri dalam shalat,
menghadirkan Al-Haqq, dan berada di hadapan-Nya. Ketika aku mulai
membaca surah Al-Fatihah dan sampai pada ayat Iyyaka na’budu (Hanya
kepada-Mu kami menyembah), kulihat diriku sendiri, tetapi aku tidak
melihat ia membenarkan apa yang dibacanya. Karena itu, aku merasa malu
untu mengucapkan ‘Iyyaka na’budu di hadapan-Nya, sedangkan Dia
mengetahui bahwa aku membohongi ucapanku sendiri. Aku melihat diriku
lalai dengan pikiran-pikirannya sendiri terhadap ibadah. Aku terus
menerus mengulang-ulang dari awal surah Al-Fatihah hingga maliki
yaumiddin, dan aku tak sanggup mengucapkan ‘iyyaka na’budu. Aku malu
berdusta kepada-Nya karena Dia akan membenciku. Maka, aku tidak rukuk
hingga terbit fajar. Aku pergi kepada-Nya dalam keadaan diriku yang
tidak diridhai-Nya.”
Kemudian, tiga hari setelah peristiwa ini,
pemuda tersebut meninggal dunia. Setelah dikuburkan, gurunya mendatangi
kuburannya. Ia mendengar suara anak muda itu dari kuburnya, “Guru, aku
hidup di sisi Yang Mahahidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Sang guru pun pulang ke rumahnya. Ia berbaring di tempat tidurnya, Ia
jatuh sakit karena sangat terkesan dengan keadaan muridnya. Tak lama
kemudian, gurunya pun menyusul muridnya ke alam baka.
Semoga bermanfaat!!!
--Kisah ini dituturkan oleh gurunya Ibnu Arabi, Al-Muqri Abu Bakar
Muhammad bin Khalaf bin Shaf Al-Lakhmi, yang terdapat dalam kitab
Futuhat Makiyyah karya Ibnu Arabi
Senin, 29 Juli 2013
sekedar untuk berbagi
MAKNA DAN RASA DALAM PUISI
Siapa pun tentu setuju, bahwa puisi adalah ungkapan perasaan penyairnya. Ya, dari puisinya, orang dapat “membaca” perasaan seperti apa yang ingin diungkap. Senang, sedih, kecewa, marah, atau sekedar melankolia karena terbawa oleh suasana yang ada di sekitarnya. Seorang penyair akan menulis puisi dengan suasana hati yang sedang dirasakannya ketika menulis. Jadi, penyair adalah orang yang paling jujur di dunia. Dia mengungkapkan pikiran dan perasaan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi dengan kebohongan.
Karena puisi itu ungkapan pikiran dan perasaan penyairnya, puisi menjadi sangat kaya akan nuansa suasana. Suatu peristiwa yang sama bisa saja ditangkap berbeda oleh penyair yang berbeda. Masalah cinta, misalnya, ada penyair yang merasakannya sebagai suatu peristiwa biasa dan sederhana, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sekedar puisi datar tanpa letupan emosi. Namun, bagi penyair yang lain, cinta adalah sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang rumit, sulit diterjemahkan dalam kata-kata, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sebuah puisi yang obscure, samar, namun eksplosif, penuh energi.
Cara mengungkapkan pikiran dan perasaan yang berbeda-beda itu pula yang membedakan kualitas atau kelas para penyair. Penyair yang tergolong masih pemula, yang masih dalam taraf belajar menulis puisi, cara mengungkapkan pikiran dan perasaan masih lugu, langsung, straight to the point. Pikiran sebagai kandungan makna dibungkus dengan emosi berlebihan sebagai kandungan rasa. Ya, penyair pemula masih mengumbar secara berlebihan emosi dalam puisi-puisinya. Kalau marah, dia berteriak. Kalau sedih, dia menangis. Berbeda dengan penyair yang sudah mapan, makna dan rasa dalam puisinya sudah mampu mengendap, tersublimasi dalam diksi, pilihan kata-kata yang bernas.
Karena puisi itu merupakan ekspresi pikiran dan perasaan penyairnya, maka untuk memahami puisi, pengenalan terhadap penyairnya juga menjadi sesuatu yang cukup penting. Artinya, untuk memahami sebuah puisi, dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, tentu pemahaman terhadap puisinya menjadi semakin dalam. Paling tidak dapat ditarik benang merah yang menghubungkan antara puisi dengan penyair yang menulisnya. Mengapa puisi seperti itu dapat tercipta dari seorang penyair seperti itu? Dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, pertanyaan semacam ini relatif lebih mungkin dicari jawabnya.
Sementara itu, menurut Prof Nurdien dari Fak. Ilmu Budaya UNDIP, puisi sebagai karya dari penyair, memiliki independensi sendiri. Begitu dia terlepas dari tangan penyairnya, dia bebas untuk dimaknai oleh siapa saja yang menikmatinya. Ruh atau jiwa puisi bergerak dan hidup di dalam intepretasi pembacanya. Itulah sebabnya, puisi yang sama bisa saja dimaknai berbeda oleh pembaca yang berbeda.
Saya kira, pendapat dua-duanya bisa diterima. Puisi sebagai karya boleh saja dikaitkan dengan penciptanya, sang penyair. Tetapi, kalau toh harus dipisahkan dengan penyairnya, dia bisa juga mengembara ke mana dia suka.
Kukira,Ws.
Siapa pun tentu setuju, bahwa puisi adalah ungkapan perasaan penyairnya. Ya, dari puisinya, orang dapat “membaca” perasaan seperti apa yang ingin diungkap. Senang, sedih, kecewa, marah, atau sekedar melankolia karena terbawa oleh suasana yang ada di sekitarnya. Seorang penyair akan menulis puisi dengan suasana hati yang sedang dirasakannya ketika menulis. Jadi, penyair adalah orang yang paling jujur di dunia. Dia mengungkapkan pikiran dan perasaan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi dengan kebohongan.
Karena puisi itu ungkapan pikiran dan perasaan penyairnya, puisi menjadi sangat kaya akan nuansa suasana. Suatu peristiwa yang sama bisa saja ditangkap berbeda oleh penyair yang berbeda. Masalah cinta, misalnya, ada penyair yang merasakannya sebagai suatu peristiwa biasa dan sederhana, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sekedar puisi datar tanpa letupan emosi. Namun, bagi penyair yang lain, cinta adalah sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang rumit, sulit diterjemahkan dalam kata-kata, sehingga ketika dia mengungkapkan perasaan cintanya, yang muncul sebuah puisi yang obscure, samar, namun eksplosif, penuh energi.
Cara mengungkapkan pikiran dan perasaan yang berbeda-beda itu pula yang membedakan kualitas atau kelas para penyair. Penyair yang tergolong masih pemula, yang masih dalam taraf belajar menulis puisi, cara mengungkapkan pikiran dan perasaan masih lugu, langsung, straight to the point. Pikiran sebagai kandungan makna dibungkus dengan emosi berlebihan sebagai kandungan rasa. Ya, penyair pemula masih mengumbar secara berlebihan emosi dalam puisi-puisinya. Kalau marah, dia berteriak. Kalau sedih, dia menangis. Berbeda dengan penyair yang sudah mapan, makna dan rasa dalam puisinya sudah mampu mengendap, tersublimasi dalam diksi, pilihan kata-kata yang bernas.
Karena puisi itu merupakan ekspresi pikiran dan perasaan penyairnya, maka untuk memahami puisi, pengenalan terhadap penyairnya juga menjadi sesuatu yang cukup penting. Artinya, untuk memahami sebuah puisi, dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, tentu pemahaman terhadap puisinya menjadi semakin dalam. Paling tidak dapat ditarik benang merah yang menghubungkan antara puisi dengan penyair yang menulisnya. Mengapa puisi seperti itu dapat tercipta dari seorang penyair seperti itu? Dengan mengetahui latar belakang kehidupan penyairnya, pertanyaan semacam ini relatif lebih mungkin dicari jawabnya.
Sementara itu, menurut Prof Nurdien dari Fak. Ilmu Budaya UNDIP, puisi sebagai karya dari penyair, memiliki independensi sendiri. Begitu dia terlepas dari tangan penyairnya, dia bebas untuk dimaknai oleh siapa saja yang menikmatinya. Ruh atau jiwa puisi bergerak dan hidup di dalam intepretasi pembacanya. Itulah sebabnya, puisi yang sama bisa saja dimaknai berbeda oleh pembaca yang berbeda.
Saya kira, pendapat dua-duanya bisa diterima. Puisi sebagai karya boleh saja dikaitkan dengan penciptanya, sang penyair. Tetapi, kalau toh harus dipisahkan dengan penyairnya, dia bisa juga mengembara ke mana dia suka.
Kukira,Ws.
Rabu, 24 Juli 2013
Dalam Termos
jauh darimu, serasa kehilangan pegangan
seperti layang-layang tanpa benang
sejenak aku mengingat, tetapi banyak yang hilang
ingatanku tentangmu yang penuh hidangan
terkadang, aku merasa ditendang, dilempar
ke sana ke sini
hingga akhirnya aku memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiri
ah,.. adakah aku dalam ruang hampa?
air dalam termos?
diam yang hening
sepi yang sunyi
tanpa udara tanpa cahaya
atau inikah aku pada laut?
menikmati angin sepaket gelombang
ombak yang mengombang-ambing
perahu kulitku yang kecil
dunia seperti pedagang yah
menawarkan ini, itu yang belum ku selami
pernah, aku boleh mencicipi buah
berspekulasi tentang rasa
berspekluasi tentang asa
tetapi, lagilagi sepa menerpa lidah
ah…
aku, air dalam termos
memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiripun tiada
aku kehilangan pegangan
jauh darimu seperti layangan tanpa benang
yang terbang mencit
semakin kecil
kecil
hilang
seperti layang-layang tanpa benang
sejenak aku mengingat, tetapi banyak yang hilang
ingatanku tentangmu yang penuh hidangan
terkadang, aku merasa ditendang, dilempar
ke sana ke sini
hingga akhirnya aku memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiri
ah,.. adakah aku dalam ruang hampa?
air dalam termos?
diam yang hening
sepi yang sunyi
tanpa udara tanpa cahaya
atau inikah aku pada laut?
menikmati angin sepaket gelombang
ombak yang mengombang-ambing
perahu kulitku yang kecil
dunia seperti pedagang yah
menawarkan ini, itu yang belum ku selami
pernah, aku boleh mencicipi buah
berspekulasi tentang rasa
berspekluasi tentang asa
tetapi, lagilagi sepa menerpa lidah
ah…
aku, air dalam termos
memilih diam terkapar
dalam pelukan sendiripun tiada
aku kehilangan pegangan
jauh darimu seperti layangan tanpa benang
yang terbang mencit
semakin kecil
kecil
hilang
Rabu, 17 Juli 2013
Bola-Bola Api Yang Terus Berkobar
kekasih,
bunga-bunga api kau nyalakan
lalu api kian berkobar membakar diriku
bersama angin yang datang membawanya sebagai pesan
dari rindu yang mulai menjelma api di ujung sana
kobarnya semakin besar menyala-nyala di tiup angin
ia tak lagi terkendali bersama angin yang menari
menjilati diriku lalu melahapnya menjadi abu
hingga tak bersisa selain kepingan hatiku yang berserakan
kau mengatakan ini cinta kekasih,
ini cinta . . .
aku rela berkobar dinyala api yang kau buat
lalu hancur ditengah bara api yang menyala
asalkan kau yang menyulutnya,
kekasih kau tak perlu melinangkan air mata
dan risau melihatku menggelepar didalam kobaran api
karena risauku yang sesungguhnya kan menyala
bila bunga api yang kau sulut
tak lagi berkobar membakar sisa-sisa abu jasadku
pergilah kekasih . . ,
pergilah dengan setangkup cintaku yang kau peram
di dalam dada
dan kau pun tak perlu berhenti hanya sekedar
untuk mendengarkan kesakitanku
dalam lirih memanggil-manggil namamu
tak perlu pula kau pulangkan wajahmu
hanya sekedar untuk melihatku mengerang
menahan panas
dari luka yang manis akan bara-bara api yang melahap hatiku
di tiap jengkal rindu hati kita
teruslah berjalan kekasih
ikutilah rindu kemana membawamu pergi
berjalan bersama segerombolan anak-anak kecil yang lucu
kedalam rahasia tawa mereka dan kegembiraan yang melepas lara
melewati jalan setapak di pematang sawah saat di sore hari
dan kekasih
bila kau sudah menemukan cinta dan rindu yang sebenarnya itu
di tengah keriangan tawa anak-anak kecil
yang lucu
atau di balik kepakan sayap burung-burung
yang terbang bebas,jauh di atas langit sana
kau boleh kembali
namun kuharap kau jangan katakan pada mereka
bahwa bola api yang pernah kau sulut
telah padam dimataku,
jangan kekasih. . .
karena mereka akan seketika pergi dan membawamu
pada kenangan usia kanak kita untuk berpulang
sebab aku tak ingin kau untuk pergi dahulu
sebelum engkau sempat kembali kepadaku
menyalakan bunga-bunga api sekali lagi
yang menjadikan diriku dan air mataku sebagai bahan bakarnya
kali ini.
bunga-bunga api kau nyalakan
lalu api kian berkobar membakar diriku
bersama angin yang datang membawanya sebagai pesan
dari rindu yang mulai menjelma api di ujung sana
kobarnya semakin besar menyala-nyala di tiup angin
ia tak lagi terkendali bersama angin yang menari
menjilati diriku lalu melahapnya menjadi abu
hingga tak bersisa selain kepingan hatiku yang berserakan
kau mengatakan ini cinta kekasih,
ini cinta . . .
aku rela berkobar dinyala api yang kau buat
lalu hancur ditengah bara api yang menyala
asalkan kau yang menyulutnya,
kekasih kau tak perlu melinangkan air mata
dan risau melihatku menggelepar didalam kobaran api
karena risauku yang sesungguhnya kan menyala
bila bunga api yang kau sulut
tak lagi berkobar membakar sisa-sisa abu jasadku
pergilah kekasih . . ,
pergilah dengan setangkup cintaku yang kau peram
di dalam dada
dan kau pun tak perlu berhenti hanya sekedar
untuk mendengarkan kesakitanku
dalam lirih memanggil-manggil namamu
tak perlu pula kau pulangkan wajahmu
hanya sekedar untuk melihatku mengerang
menahan panas
dari luka yang manis akan bara-bara api yang melahap hatiku
di tiap jengkal rindu hati kita
teruslah berjalan kekasih
ikutilah rindu kemana membawamu pergi
berjalan bersama segerombolan anak-anak kecil yang lucu
kedalam rahasia tawa mereka dan kegembiraan yang melepas lara
melewati jalan setapak di pematang sawah saat di sore hari
dan kekasih
bila kau sudah menemukan cinta dan rindu yang sebenarnya itu
di tengah keriangan tawa anak-anak kecil
yang lucu
atau di balik kepakan sayap burung-burung
yang terbang bebas,jauh di atas langit sana
kau boleh kembali
namun kuharap kau jangan katakan pada mereka
bahwa bola api yang pernah kau sulut
telah padam dimataku,
jangan kekasih. . .
karena mereka akan seketika pergi dan membawamu
pada kenangan usia kanak kita untuk berpulang
sebab aku tak ingin kau untuk pergi dahulu
sebelum engkau sempat kembali kepadaku
menyalakan bunga-bunga api sekali lagi
yang menjadikan diriku dan air mataku sebagai bahan bakarnya
kali ini.
Senin, 15 Juli 2013
Lail
Lail,di malam yang lenggang
lorong lorong waktu sepi dari para pejalan
mata mereka lebih banyak kalah
dan menyerahkannya kedalam malam
Lail,pada gugusan bintang yang membujur
langit menghitam menyembunyikan segala misteri
dari balik cahaya rembulan
kerlap kerlip gemintang menjadi teman
menuntun jalan
dengan sedikit cahaya remang remang
di bawah bayang rembulan
Lail,rembulan dan berjuta bintang
yang bertebaran seluas langit diatas sana
kemudian diam membisu,
tenang
di dalam asma-Nya dan merunduk
Lail,cahaya rembulan dan bintang yang bertebaran
kemudian meredup
cahaya-Nya yang kemudian menenggelamkan segala cahaya
yang pernah kau lihat,
engkaupun akan terhempas jika masih berada dalam egomu
dan akan sirna di dalam cahaya-Nya jika masih merupa setitik cahaya
Lail,cahaya-Nya yang menelusup kerelung relung hatimu
kemudian menerangi,
membekukan tulang tulang yang kau rasa gigil
hingga kerelung palung di jiwa
mematikan seluruh indra
dan membinasakan segala keakuan yang ada
yang sering mengada ada
Lail,,Ialah cahaya di dalam cahaya
lorong lorong waktu sepi dari para pejalan
mata mereka lebih banyak kalah
dan menyerahkannya kedalam malam
Lail,pada gugusan bintang yang membujur
langit menghitam menyembunyikan segala misteri
dari balik cahaya rembulan
kerlap kerlip gemintang menjadi teman
menuntun jalan
dengan sedikit cahaya remang remang
di bawah bayang rembulan
Lail,rembulan dan berjuta bintang
yang bertebaran seluas langit diatas sana
kemudian diam membisu,
tenang
di dalam asma-Nya dan merunduk
Lail,cahaya rembulan dan bintang yang bertebaran
kemudian meredup
cahaya-Nya yang kemudian menenggelamkan segala cahaya
yang pernah kau lihat,
engkaupun akan terhempas jika masih berada dalam egomu
dan akan sirna di dalam cahaya-Nya jika masih merupa setitik cahaya
Lail,cahaya-Nya yang menelusup kerelung relung hatimu
kemudian menerangi,
membekukan tulang tulang yang kau rasa gigil
hingga kerelung palung di jiwa
mematikan seluruh indra
dan membinasakan segala keakuan yang ada
yang sering mengada ada
Lail,,Ialah cahaya di dalam cahaya
Sore Di Dermaga Ikan
Sore Di Dermaga Ikan
angin berhembus perlahan
memainkan irama debur ombak
memecah batu karang yang turun naik melepas kesunyian
mengisi irama kekosongan jiwa yang melanda di hati
pada terumbu karang yang diam membisu di terjang ombak
lautan tenang tapi tetap keras
menghantam bibir bibir pantai
pada tebing tebing batu
yang tegak berdiri,
ikan ikan kecil berenang
mengigit gigit kakimu yang sengaja
engkau serahkan kelaut
kedalam jaring laba laba milik nelayan
semua kekosongan dari segala lara yang kau kecap
menjadi gurita,merobek jala dari
benang benang nilon
yang sengaja disimpulkan untuk menjeratmu
semuanya kau lewati dengan menyelam
makin kedalam,ke
d
a
l
a
m
sangat
d
a
l
a
m
kerongga rongga dada dihati
tempat segala rahasia
kau masukan kedalam peti emas
yang kemudian engkau benamkan
sedalam palung laut di hatimu
angin berhembus perlahan
memainkan irama debur ombak
memecah batu karang yang turun naik melepas kesunyian
mengisi irama kekosongan jiwa yang melanda di hati
pada terumbu karang yang diam membisu di terjang ombak
lautan tenang tapi tetap keras
menghantam bibir bibir pantai
pada tebing tebing batu
yang tegak berdiri,
ikan ikan kecil berenang
mengigit gigit kakimu yang sengaja
engkau serahkan kelaut
kedalam jaring laba laba milik nelayan
semua kekosongan dari segala lara yang kau kecap
menjadi gurita,merobek jala dari
benang benang nilon
yang sengaja disimpulkan untuk menjeratmu
semuanya kau lewati dengan menyelam
makin kedalam,ke
d
a
l
a
m
sangat
d
a
l
a
m
kerongga rongga dada dihati
tempat segala rahasia
kau masukan kedalam peti emas
yang kemudian engkau benamkan
sedalam palung laut di hatimu
Minggu, 14 Juli 2013
Mimpi Bersama Si Pemilik Bintang Di Dagu Yang Datang Untuk Memenuhi Undangan Hujan
Kepada abangku : Husni Hamisi
ketempat yang tak kutahu itu
aku datang menemuimu
disana kau sudah lama menunggu rupanya
ketempat yang kau tunjuk dengan isyarat
kaki kaki kita mulai beriringan berjalan meninggalkan waktu
menyusuri peninggalan jejak jejak setapak dijalan yang terjal
pada tepi anak sungai yang mengalir
kau memoles debu debu yang melekat didinding dinding kaca sanubari
ada jamur kerang yang tumbuh,katamu.
didaun angka kalender tua usia kita yang mulai berjatuhan seperti daun dimusim gugur
sayup sayup dari kejauhan langit di matamu kulihat mulai bergemuruh
dada dada kita mulai penuh suara ombak yang menderu
pada dinding dinding karang yang memusim
setelah kemarau,akan ada yang jatuh
: Hujan,katamu.
Dan jika benar musim penghujan
aku ingin sekali bermain dipipimu
menguras air hujan yang turun
dari kelopak langit,
setelah usai dan tak ada genangan air
aku bisa menikmati bintang kecil di dagumu,
sepuasnya.
ketempat yang tak kutahu itu
aku datang menemuimu
disana kau sudah lama menunggu rupanya
ketempat yang kau tunjuk dengan isyarat
kaki kaki kita mulai beriringan berjalan meninggalkan waktu
menyusuri peninggalan jejak jejak setapak dijalan yang terjal
pada tepi anak sungai yang mengalir
kau memoles debu debu yang melekat didinding dinding kaca sanubari
ada jamur kerang yang tumbuh,katamu.
didaun angka kalender tua usia kita yang mulai berjatuhan seperti daun dimusim gugur
sayup sayup dari kejauhan langit di matamu kulihat mulai bergemuruh
dada dada kita mulai penuh suara ombak yang menderu
pada dinding dinding karang yang memusim
setelah kemarau,akan ada yang jatuh
: Hujan,katamu.
Dan jika benar musim penghujan
aku ingin sekali bermain dipipimu
menguras air hujan yang turun
dari kelopak langit,
setelah usai dan tak ada genangan air
aku bisa menikmati bintang kecil di dagumu,
sepuasnya.
Minggu, 30 Juni 2013
Aku ingin lelap di kolongMu
Langit tidak menyenja tadi sore
juga malam tidak hendak menyeruak
aku rasa akan tetap seperti mati
pada poros tunggak
" tiada pagi, jika malam tak menjelang " kataMu
aku ingin segera tertidur
di kolongmu yang kutapak
sebelum malam dan pagi kabur
dari peperangan yang saling menombak
namun bumi menutup pori-porinya
hingga hujan mengembang setinggi pintu
" di mana kolong itu ? " tanyaku
" tidak ada tempat untukmu, jika tiada jeda tempat untuku" bisikMu
aku kembali menengok laku yang tertimbun alpa
saat lupa tidak lagi meng-ada-kanMu
sudut kata di nada memulai buta
hujan mengadu domba harap dan takutku
aku ingin lelap di kolongMu,Tuhan
bersama mereka yang kau buka pintunya
dan bersama mereka yang telah damai berpulang
kedalam kerinduan bersamaMu
juga malam tidak hendak menyeruak
aku rasa akan tetap seperti mati
pada poros tunggak
" tiada pagi, jika malam tak menjelang " kataMu
aku ingin segera tertidur
di kolongmu yang kutapak
sebelum malam dan pagi kabur
dari peperangan yang saling menombak
namun bumi menutup pori-porinya
hingga hujan mengembang setinggi pintu
" di mana kolong itu ? " tanyaku
" tidak ada tempat untukmu, jika tiada jeda tempat untuku" bisikMu
aku kembali menengok laku yang tertimbun alpa
saat lupa tidak lagi meng-ada-kanMu
sudut kata di nada memulai buta
hujan mengadu domba harap dan takutku
aku ingin lelap di kolongMu,Tuhan
bersama mereka yang kau buka pintunya
dan bersama mereka yang telah damai berpulang
kedalam kerinduan bersamaMu
Jumat, 14 Juni 2013
Sekedar Menulis
Dear kawan-kawan pecinta kata yang baik hatinya,seperti yang sudah-sudah saat diwaktu yang senggang bila hari tidak sedang dikejar-kejar kerjaan saya memilih untuk santai sejenak bersama secangkir kopi dan beberapa buku bacaan sembari menyapa dan mengunjungi kawan-kawanku didunia maya sekaligus menikmati beberapa puisi,syair dan beberapa jejak kata dicatatan mereka,seperti saat sekarang ini saya menemukan beberapa puisi yang membuat saya ikut terbakar didalamnya tak jarang saya harus kembali memunguti sisa-sisa kenangan yang dihadirkan sipenulis dalam tiap jengkal rahasia kata-katanya,dan tak jarang catatan kawan-kawan didunia maya yang sempat kutemui malam ini sangat pandai membuat saya "meleleh" tiap membaca puisi-puisi mereka.
Dari sini saya belajar banyak hal tentang mereka,tentang gaya kepenulisan mereka,karakter mereka,
pesan-pesan yang hendak mereka sampaikan dan kelembutan dari kedalaman perasaan tiap penulisnya sungguh membuat saya kadang merinding dan diam terpaku saat membacanya,akhirnya suasana-suasana seperti itu tak jarang kembali mengajak saya untuk ikut menuliskanya tapi harus mulai dari mana itu yang terkadang menjadi persoalan bagi saya,karna terkadang kata-kata itu sulit untuk keluar menjadi butiran kata yang berlompatan pada sebidang kertas ditiap lembar kelembar berikutnya,bukan karna kita kehabisan kata atau bahan untuk dituliskanya melainkan kata-kata itu terkadang memilih hidup dan membaca untuk diri kita sendiri menjadi bahasa yang mereka pilih untuk kita dengarkan dihati dan telinga kita sendiri tanpa ada yang melihat atau mendengarkanya hingga saya pun tak jarang kesulitan untuk memulai menuliskanya,bila sudah seperti ini terkadang saya mulai bingung untuk meminjam huruf dan butiran kata yang hendak saya tuangkan diatas selembar kertas,kebanyakan saya hanya mendengarkan mereka (kata-kata) berbicara membentuk puisi dan syair yang saling bersahutan ditelinga saya kedalam lobang-lobang hati keingatan-ingatan yang memilih bermakam didalamnya.
Seperti saat-saat seperti ini? Tengah malam, saat jemari gerimis pelan mengetuk jeda sunyi lewat denting tik-tak-nya di genting tiba-tiba secara tak sengaja di antara sepi yang teramat jarang saya jumpai di Ibu kota, saya menemukan sekumpulan koleksi lagu klasik yang telah lama tergeletak tak dimainkan di komputer teman saya? Lalu perlahan untaian nada-nada nan halus itu menari dengan indahnya, membuai saya. Seolah-olah ada sepasang tangan yang tak terlihat menengadah di depanmu, mengajakmu untuk menyelami kembali lembar-lembar kenangan yang entah kapan terakhir kalinya kau buka dan baca lewat untaian nada-nada itu.
Entah, tapi mungkin baru saja saya merasakannya kawan. Awalnya ada sepercik kerinduan yang mulai memekar perlahan, tepat di antara jeda terpecahnya sepi. Seakan-akan nada-nada itu merayapi kepingan masa lalu yang terpencar di setiap ujung terjauh simpul saraf ingatan saya; tentang cerita ketika saya mulai mengakrabi malam, menjabat dingin tengannya, berbincang dengan sepinya hingga kemudian saya mulai terbiasa untuk bersembunyi di belakang kelam selimutnya, menikmati tiap detik yang berlari meninggalkan saya dan malam.
Tapi tidak untuk malam ini,saya menemukan catatan yang berjudul seperti ini "Pasungan Masa-Masa" disalah satu note milik kawan saya Azure Azale saya tidak sendiri menikmati luka ibu kita,anda,ataupun kalian yang masih memiliki ibu atau pernah sempat memilikinya,dalam catatan Kawanku itu betapa saya harus membayar mahal tiap jerih payah orang tua kita,kau benar kawan api-api itu mulai membakar saya juga malam ini,bila boleh saya memlih terbakar didalamnya demi bisa membalas kebaikan mereka yang kukira takan pernah mampu untuk kita balas,meski demikian saya senang membacanya ada sedikit kerinduan yang tersampaikan dan terwakilkan oleh catatan kawanku itu kepada ibu kita agar lebih bisa menghargainya,hanya saja kuliat beberapa waktu belakangan ini kau jarang menulis lagi diblog atau sekedar difacebook yang kau miliki,terlepas dari itu saya belajar banyak hal dari dia terus terang saya sangat salut pada kawanku itu semakin hari ia mulai terbiasa meramu kata-kata,,tiap jengkal kata-katanya sangat indah dan enak untuk dinikmati,sejak pertama mengenal kawanku itu meski belum pernah sekalipun benar-benar bertemu dan membaca catatan pertamanya saya yakin suatu saat kawanku ini akan menjadi seorang penulis besar dinegri ini,kenapa karna saya melihat "laut" di matanya,laut yang dimana matahari pun padam dan teggelam didalamnya,hanya saja ada satu hal yang kukira kau perlu sedkit benahi kawan ya itu "hatimu" untuk tidak sering terlalu berlarut-larut dalam ''kegalauan'' yang mungkin sering melandamu karana kukira kau akan sangat membutuhkanya untuk menyelam didalam sana,terlalu banyak hal yang aneh yang kan kaudapati dan juga membuatmu bingung untuk mengarunginya bahkan sebelum sempat engkau sampai didasarnya.
Sekian dulu,kuharap dirahasia dunia kata kata-Nya kita semua masih sempat dipertemukan lagi,dan
meminjam kata-kata ajaib sahabat penaku Azure Azalea,sebelum berpamitan dan salam penutup dariku,
''Hari ini indah esok juga indah''
ya hari ini indah dan akan selalu indah sahabat,
kukira. . .
~Makassar,14 june 2013~
Dari sini saya belajar banyak hal tentang mereka,tentang gaya kepenulisan mereka,karakter mereka,
pesan-pesan yang hendak mereka sampaikan dan kelembutan dari kedalaman perasaan tiap penulisnya sungguh membuat saya kadang merinding dan diam terpaku saat membacanya,akhirnya suasana-suasana seperti itu tak jarang kembali mengajak saya untuk ikut menuliskanya tapi harus mulai dari mana itu yang terkadang menjadi persoalan bagi saya,karna terkadang kata-kata itu sulit untuk keluar menjadi butiran kata yang berlompatan pada sebidang kertas ditiap lembar kelembar berikutnya,bukan karna kita kehabisan kata atau bahan untuk dituliskanya melainkan kata-kata itu terkadang memilih hidup dan membaca untuk diri kita sendiri menjadi bahasa yang mereka pilih untuk kita dengarkan dihati dan telinga kita sendiri tanpa ada yang melihat atau mendengarkanya hingga saya pun tak jarang kesulitan untuk memulai menuliskanya,bila sudah seperti ini terkadang saya mulai bingung untuk meminjam huruf dan butiran kata yang hendak saya tuangkan diatas selembar kertas,kebanyakan saya hanya mendengarkan mereka (kata-kata) berbicara membentuk puisi dan syair yang saling bersahutan ditelinga saya kedalam lobang-lobang hati keingatan-ingatan yang memilih bermakam didalamnya.
Seperti saat-saat seperti ini? Tengah malam, saat jemari gerimis pelan mengetuk jeda sunyi lewat denting tik-tak-nya di genting tiba-tiba secara tak sengaja di antara sepi yang teramat jarang saya jumpai di Ibu kota, saya menemukan sekumpulan koleksi lagu klasik yang telah lama tergeletak tak dimainkan di komputer teman saya? Lalu perlahan untaian nada-nada nan halus itu menari dengan indahnya, membuai saya. Seolah-olah ada sepasang tangan yang tak terlihat menengadah di depanmu, mengajakmu untuk menyelami kembali lembar-lembar kenangan yang entah kapan terakhir kalinya kau buka dan baca lewat untaian nada-nada itu.
Entah, tapi mungkin baru saja saya merasakannya kawan. Awalnya ada sepercik kerinduan yang mulai memekar perlahan, tepat di antara jeda terpecahnya sepi. Seakan-akan nada-nada itu merayapi kepingan masa lalu yang terpencar di setiap ujung terjauh simpul saraf ingatan saya; tentang cerita ketika saya mulai mengakrabi malam, menjabat dingin tengannya, berbincang dengan sepinya hingga kemudian saya mulai terbiasa untuk bersembunyi di belakang kelam selimutnya, menikmati tiap detik yang berlari meninggalkan saya dan malam.
Tapi tidak untuk malam ini,saya menemukan catatan yang berjudul seperti ini "Pasungan Masa-Masa" disalah satu note milik kawan saya Azure Azale saya tidak sendiri menikmati luka ibu kita,anda,ataupun kalian yang masih memiliki ibu atau pernah sempat memilikinya,dalam catatan Kawanku itu betapa saya harus membayar mahal tiap jerih payah orang tua kita,kau benar kawan api-api itu mulai membakar saya juga malam ini,bila boleh saya memlih terbakar didalamnya demi bisa membalas kebaikan mereka yang kukira takan pernah mampu untuk kita balas,meski demikian saya senang membacanya ada sedikit kerinduan yang tersampaikan dan terwakilkan oleh catatan kawanku itu kepada ibu kita agar lebih bisa menghargainya,hanya saja kuliat beberapa waktu belakangan ini kau jarang menulis lagi diblog atau sekedar difacebook yang kau miliki,terlepas dari itu saya belajar banyak hal dari dia terus terang saya sangat salut pada kawanku itu semakin hari ia mulai terbiasa meramu kata-kata,,tiap jengkal kata-katanya sangat indah dan enak untuk dinikmati,sejak pertama mengenal kawanku itu meski belum pernah sekalipun benar-benar bertemu dan membaca catatan pertamanya saya yakin suatu saat kawanku ini akan menjadi seorang penulis besar dinegri ini,kenapa karna saya melihat "laut" di matanya,laut yang dimana matahari pun padam dan teggelam didalamnya,hanya saja ada satu hal yang kukira kau perlu sedkit benahi kawan ya itu "hatimu" untuk tidak sering terlalu berlarut-larut dalam ''kegalauan'' yang mungkin sering melandamu karana kukira kau akan sangat membutuhkanya untuk menyelam didalam sana,terlalu banyak hal yang aneh yang kan kaudapati dan juga membuatmu bingung untuk mengarunginya bahkan sebelum sempat engkau sampai didasarnya.
Sekian dulu,kuharap dirahasia dunia kata kata-Nya kita semua masih sempat dipertemukan lagi,dan
meminjam kata-kata ajaib sahabat penaku Azure Azalea,sebelum berpamitan dan salam penutup dariku,
''Hari ini indah esok juga indah''
ya hari ini indah dan akan selalu indah sahabat,
kukira. . .
~Makassar,14 june 2013~
Kamis, 13 Juni 2013
Duhai Tuhan Yang Maha Baik Aku Hanya Ingin Pulang Ke Rahim-Mu
Ya Tuhanku,
di mana letak hatiku di saat aku mengaduh
mataku gelap bagaikan gelapnya samudra tanpa cahaya
hatiku kosong bagaikan lupa di isi oleh sejuknya cinta yang mengalir hangat,
yang lembut, namun bagaimana bisa aku lupa akan diriMu?
aku tak tahu, apakah pernah aku teringat akan dengung hadirMu?
Ya Tuhaku,
telah kupatahkan tulang rusukku dan aku berjalan kesakitan
dan kuseret semua kepayahan ini bagaikan manusia tanpa mata dan rasa
kukutuk bintang dan aku tenggelamkan pikiran pikiranku menuju lembah kesunyian
aku tak menemukan apa apa, aku tak juga menemukanMu?
beranda rumahMu semakin tak tembus dalam kabut kegelisahan hidupku
Ya Tuhaku,
ku gambar raut mukaku pada tembok yang mulai runtuh, lalu aku corat coret dengan
hujatan yang membuat aku semakin tenggelam dalam kegilaan tanpa doa
kemana lagi aku harus bersujud dan kemana lagi aku harus menengadah?
aku tak tahu kiblatku telah di jarah oleh kebencian yang membutakan hatiku yang paling intim
luka yang disayat waktu telah menolak untuk menekukan rukuk dan pilukan hati ini berkali kali?
Ya Tuhanku,
aku ikat jantungku pada sekumpulan serigala dari balik kamar yang berisikan derit yang menyakitkan
kusembelih lidahku dari ayat ayatmu lalu aku membalikkan badanku dari panggilan panggilanmu
masihkah aku seorang manusia atau hanya kayu bakar bagi luasnya api yang menghanguskan?
aku tinggalkan semua perintahmu dan ingin sekali diri ini menembak mati malaikat malaikatmu
dan mereka yang berjalan disebelahku ingin kumakan dengan kesombonganku yang tak terjawab
Ya Tuhanku,
ku jelajahi luasnya buku buku namun yang aku temukan mereka yang telah menggantungMu dari balik bukit pertapaan waktu
setankah aku yang telah mengikuti dakwah iblis dalam kitab sucinya yang paling kotor?
kubentangkan jiwaku pada luasnya langit yang tak bertepi, memanggil manggil mendung dan menyingkirkan matahari lalu aku robek bulan yang kemuning tepat di bola matanya
hiduplah aku sebagai sebatang kayu yang dialirkan sungai yang tak bermuara
Ya Tuhanku,
di mana lagi aku harus aliri darahku yang sudah lama tak menyebut suci namaMu?
jiwaku telah dijangkiti kerusakan yang tak bisa aku rasakan, aku mati tapi aku hidup
segala sembahku telah aku belokkan ke jurang kegilaanku yang paling dalam
luputkah aku dari hardikanMu yang paling binasa? Atau anginlah yang kau bawa namun kulitkulah yang mati rasa?
biarlah mungil semut yang mengajariku doa sebelum aku tumpas ditelah lupa dan luka
Ya Tuhanku
aku ingin kembali, kaki kakiku tak kuasa lagi menembus belukar dan
menangislah semua tubuhku dan bergemerataklah seluruh sususan jiwaku saat Engkau tinggalkan
aku ingin pulang, pulang ke arah timur yang telah aku lewatkan selama ini
kemana lagi aku harus bersembunyi dari kengerian dunia ini kalau tidak aku harus kembali ke dalam rahimmu yang paling dalam wahai Tuhanku yang tak bisa kubaca lewat teriakan teriakan?
aku ingin kembali dan pulang ke asal mula diriMu, ke asal mula Aku
senin 25 februari 2013
18:56
Selasa, 11 Juni 2013
karna kita begitu yakin
begitu banyak gelembung dari lubang-lubang dada
yang harus kita tekan kembali, sebab
pecahnya sering tak sewarna dengan bola mata
ada yang tak mampu membentangkan cakrawala
dan cahaya itu begitu paham, kita memantulkan warna
yang tak juga pernah sama, dan di tiap hembusan napas
angin dengan setia menyimpannya dalam cuaca
menjadikannya musim tempat kita berkaca
kembali mengeja dan membaca apa yang
telah kita pinta dan terima
dan ketersesatan selalu menyisakan bintang di langit
sebab kadang kita lebih menyukai kegelapan
dan kita yakin ia akan selalu menunjuk-kan
arah ayun ke satu titik
saat berayunpun di seutas dalamnya kegelapan itu
kita juga selalu yakin, akan selalu ada
kata sambut di setiap kejatuhan
kegelapan tak menjerikan, meski
sering membenturkan ke tembok-tembok batu
atau tiang- tiang penyangga langit, lalu
kita menengadah dan menganggapnya sebuah lengkungan
menjelmakannya tanda tanya, memanjatnya dengan doa
sebab kita selalu yakin, ia selalu ada di seberang sana
lalu kenapa kita selalu menorehkan luka
di tiap kelahiran anak-anak kita kelak
atau memang kita tak sanggup membaca cuaca?
atau letup gelembung itu memang telah memecahkan
kedua mata kita
pada sebuah kata yang lupa kau kenang
Untuk sebilah tubuhku yang disana
Aku tak mencarimu
Kau datang dengan sejuta percikan mata air
Wajahmu adalah sentuhan yang membawaku harus mengandung
dan melahirkan kata-kata hingga aku bosan mengenangnya
Namun kau adalah sumur yang tak pernah padam dari memancarkan airmu
Tak pernah surut menjalani ketetapanmu yang membawaku pulang
Aku masih berkelana, di bulan ini, kau paku diri menjadi sosok yang seketika lupa kemana
dan dimana tempat kembali
Hari hari berjalan sekencang suaramu yang menyapa dalam angin semilir keresahanku
Bersamanya kau menyantap dan kencing, serta memuntahkan racun,
juga mengeluarkan madu yang masih saja belum kucicipi
Aku sedikit gugup ketika kau kabarkan pada sang penentu,
kapan kita menentukan tanggal untuk pulang dan menuliskan dan melahirkan beribu rahim kata?
Aku hanya terpana, masih melihat kata yang luput dari pembacaan kita, Sebab kita tidak sedang berkata-kata, namun menyiapan bekal untuk perjalan kita pulang nanti.
Aku tak mencarimu
Kau datang dengan sejuta percikan mata air
Wajahmu adalah sentuhan yang membawaku harus mengandung
dan melahirkan kata-kata hingga aku bosan mengenangnya
Namun kau adalah sumur yang tak pernah padam dari memancarkan airmu
Tak pernah surut menjalani ketetapanmu yang membawaku pulang
Aku masih berkelana, di bulan ini, kau paku diri menjadi sosok yang seketika lupa kemana
dan dimana tempat kembali
Hari hari berjalan sekencang suaramu yang menyapa dalam angin semilir keresahanku
Bersamanya kau menyantap dan kencing, serta memuntahkan racun,
juga mengeluarkan madu yang masih saja belum kucicipi
Aku sedikit gugup ketika kau kabarkan pada sang penentu,
kapan kita menentukan tanggal untuk pulang dan menuliskan dan melahirkan beribu rahim kata?
Aku hanya terpana, masih melihat kata yang luput dari pembacaan kita, Sebab kita tidak sedang berkata-kata, namun menyiapan bekal untuk perjalan kita pulang nanti.
Perihal saya Dan Secangkir Kopi Malam Ini
entah
mengapa beberapa hari ini perasaan saya selalu sangat mudah terbawa oleh susana
bila
boleh digambarkan mirip seperti seekor ikan kecil yang hanya ikut kemana arus
membawanya pergi
atau bisa
jadi karna suasana-suasana yang menghinggapi belakangan ini terlalu syahdu kata
bang Roma
yang juga
salah satu pentolan dangdut di negara ini,tapi hubunganya apa raja dangdut
dengan perasaanku
yang
belakangan ini seperti lagu-lagunya yang slow itu ?
tidak
taulah sayapun enggan untuk berpikir terlalu jauh kesana,saya lebih memilih
untuk kembali meneguk secangkir kopi susu yang sudah dari tadi memilih diam
menunggu giliran untuk berseluncur disepanjang lidahku.
Sambil
sesekali diam menikmati hening dan merasai perasanku saja yang sekarang lebih
tenang namun terasa pedas didalamnya bukan karena tadi sore saya sempat makan dua
porsi nasi padang lengkap dengan beberapa potong daging rendangnya,kali ini saya
tidak terlalu ingin bercerita tentang ini itu,saya hanya ingin menulis yang
lagi-lagi hanya tentang diri saya tentang kebiasaan-kebiasaan saya yang senang
menikmati beberapa gelas kopi bersama teman bacaan yang kadang membuat saya
tertawa sendiri,senyum-senyum sendiri yang mungkin membuat orang yang melihat
saya mulai berfikir mungkin saya sudah gila karna terlalu memikirkan seorang
gadis berlesung pipi itu yang tak kunjung berani saya temui.
Tapi ko
harus gadis berlesung pipi ya dalam lamunanku ? kenapa bukan gadis berpinggul
biola saja yang hadir ?
diam-diam
saya mulai menemukan jawabanya dimatamu,saya sadar bahwa selama ini memang
gadis berlesung pipi ini yang lebih sering mengisi ingatanku ia memilih mataku
sebagai tempat tinggal barunya,tak apalah,kukira engkaupun selalu senang
membelai mataku yang senang mengenang matamu bukan ?
sedikit
narsis tapi penuh dengan kepercayaan diri yang tinggi sampai tidak pernah
berani hanya untuk sesekali benar-benar menatap matanya yang aduhai itu,bukan
karna saya takut,hanya saja saya tidak pandai untuk berenang bila saja harus
jatuh lagi dan hanyut dalam sungai-sungai dihatimu yang deras mengngalir
kelubang-lubang hatiku.
hanya
sekedar menuliskanmu saja butuh berton-ton keberanian dan kata-kata ajaib yang
kadang hasilnya pun tidak pernah sesuai apa yang ada diperasaan untuk
menuliskanya dengan ujung-ujung jari yang seperti memlih versi kata-katanya
sendiri,entah karna masih belum koneknya antara rasa dan ujung-ujung jariku atau
karna "perihalmu" yang membuat perasaan dan ujung-ujung jariku
terhipnotis saat ingin menuliskanya,tapi sudahlah dengan inipun saya masih
tetap menikmatinya,setidaknya saya masih bisa "merasaimu" dan
benar-benar berani menyapamu meski lewat dunia rahasia kata-kata-Nya,tapi
sampai disini ko critanya mulai ngawur ya,bukanya tadi niat awal tulisan ini
untuk menuliskan segala seusatu tentang saya dan sesuatu yang lain namun masih
tetap ada hubunganya dengan saya,ko malah merambat pada senyummu,mata beningmu,dan
lobang-lobang hatimu yang mulai sampai dimataku,sudahlah sebelum semuanya
menjadi lebih ngawur mungkin baiknya saya kabur dulu,bukan karna tidak ingin
menuliskanmu lagi,hanya saja saya lebih senang mengenangmu dan menuliskanmu
diam-diam tanpa ada yang bisa membacanya,kalo istilah anak-anak muda jaman alay
bin lebay seperti sekarang ini,biar "Tuhan dan saya saja yang tau" katanya.
Sudahlah,
saya lebih memilih kopi untuk kembali mencairkan suasana yang sedari tadi sudah
setia menunggu giliran untuk mencicipi lidahku. lagi,lagi,dan lagi. . . .
------------------------------------------------------------------
Langganan:
Postingan (Atom)