begitu banyak gelembung dari lubang-lubang dada
yang harus kita tekan kembali, sebab
pecahnya sering tak sewarna dengan bola mata
ada yang tak mampu membentangkan cakrawala
dan cahaya itu begitu paham, kita memantulkan warna
yang tak juga pernah sama, dan di tiap hembusan napas
angin dengan setia menyimpannya dalam cuaca
menjadikannya musim tempat kita berkaca
kembali mengeja dan membaca apa yang
telah kita pinta dan terima
dan ketersesatan selalu menyisakan bintang di langit
sebab kadang kita lebih menyukai kegelapan
dan kita yakin ia akan selalu menunjuk-kan
arah ayun ke satu titik
saat berayunpun di seutas dalamnya kegelapan itu
kita juga selalu yakin, akan selalu ada
kata sambut di setiap kejatuhan
kegelapan tak menjerikan, meski
sering membenturkan ke tembok-tembok batu
atau tiang- tiang penyangga langit, lalu
kita menengadah dan menganggapnya sebuah lengkungan
menjelmakannya tanda tanya, memanjatnya dengan doa
sebab kita selalu yakin, ia selalu ada di seberang sana
lalu kenapa kita selalu menorehkan luka
di tiap kelahiran anak-anak kita kelak
atau memang kita tak sanggup membaca cuaca?
atau letup gelembung itu memang telah memecahkan
kedua mata kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar