Kamis, 26 Juni 2014

Pelajaran Hikmah Part.9



Hikmah dari sebuah senyum tulus (Kisah Nyata) “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’ ”
Ini sebuah kisah nyata yang di dapet dari seorang teman lewat email, namanya Teguh, dan Teguh juga mungkin mendapatkan ini dari temannya.
tulisan ini berawal dengan tulisan “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’ “
Mungkin itu di maksud sebagai judulnya.

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumniJerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim disana. Sangat layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup. Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang  periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani  si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian. Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali. Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah  saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima ‘kehadirannya’ ditempat itu.
Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung  beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.  Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya  ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan  tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.
Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka…
Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.”
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca2 dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak,nyonya.”.  Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya sayaberkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk  menyampaikan makanan ini kepada kalian.”
Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.  Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak2ku!”
Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat  sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap “Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai2kan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini di tangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya.  Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untu membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya. “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.” Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk  menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun,
yaitu: “PENERIMAAN TANPA SYARAT.”
Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda,
teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini
ada ‘malaikat’ yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang
membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu
(sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!
Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari
kehidupanmu, tetapi hanya ‘sahabat yang bijak’ yang akan meninggalkan
JEJAK di dalam hatimu.
Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk
berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan
uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan
kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan
kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap
hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu
ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa
mendapatkannya.
Orang-orang muda yang ‘cantik’ adalah hasil kerja alam, tetapi orang- orang tua yang ‘cantik’ adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri…
Smile & Peace
.

Rabu, 11 Juni 2014

Pelajaran Hikmah Part.8


Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra





Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan

Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
————
Sumber: eramuslim. com

Jumat, 02 Mei 2014

Hatiku seperti bulan


lama kupandangi matahari itu dari jendela kamarku, sebelum akhirnya sadar bahwa bukan matahari yang kupandangi tapi bulan. jadi bulan yang kupandangi dari tadi bukan matahari. rupanya bukan siang tapi malam hari. jadi segala yang ada tadi benar benar terjadi dalam mimpiku. kuingat ingat lagi kegiatanku sebelumnya. tadi aku di simpang jalan; menuliskan itu atau mencobakan ini. mencobakan ini atau melanjutkan tulisan itu. saat mencoba coba itulah aku tertidur. ilerku rasanya seperti biasa: terbenam di bantal. sering aku menciumi kembali bantal bantalku di pagi hari, hanya untuk menemui ilerku kembali. ilerku di mana kamu kataku lalu aku membalik balik bantalku. kami di sini ah bukan, kamu bukan di sini tapi di situ.

aku membalik bantalku dan mereka memang di situ, sembunyi di pojok bantalku. tapi selalu aku berhasil menemukan ilerku di bantal yang seharian telah menopang kepalaku. kadang bantalku dalam tidurku kuubah posisinya: bukan di kepala lagi tapi kujepit dengan kedua kakiku. kamu di sini dulu ya, di kaki, sebab kepalaku rasanya sakit dan biarkan ia sendirian dulu. jangan diganggu. orang sakit butuh istirahat dan biarkan dia istirahat. ikhlaskanlah, kataku dan kubelai belai kakiku agar mereka mau menerima pandanganku itu. biarkan mereka sejenak saja kataku sambil terus mengusap ngusap kakiku. kukira nyamuk yang membuat aku terbangun sebelum aku tidur lagi. entahlah, sekali itu kubiarkan saja nyamuk menggigit badanku. biarlah kataku, dia juga butuh makan dan biarkan ia makan sambil mengisap darah dari tubuhku. toh aku tidak akan mati hanya karena nyamuk mengisap makanannya dari badanku ini.

lalu aku berpikir tentang bulan itu. jadi yang kupandangi dari tadi adalah bulan bukan matahari. kalau begitu hari memang malam bukan siang hari. artinya segala kegiatanku tadi berjalan dalam mimpi bukan dalam kenyataan. aku tersenyum kepada bulan dan entah mengapa aku tiba tiba ingin berkata kata kepadanya. aku tahu kataku bulan, kamu begitu jauh dan aku tak mungkin bisa menjangkaumu. tapi tak mengapa walau kamu tidak akan mendengar kata kataku ini. aku ingin berkata kata kepadamu bulan dan dengarlah kata kataku, jadi akhirnya aku ini bermimpi bukan sedang terjaga. jadi segala kegiatanku seharian tadi tidak ada yang nyata.

tapi bulan wahai bulan kau dengarkah bulan, mengapa buku buku yang kubayangkan itu ada semua di sampingku ini. aku membayangkan sisinya bukan membayangkan fisiknya. fisiknya memang ada dan isinya yang kubayangkan memang nyata. aduh bulan kataku, apakah aku ini mimpi atau aku ini tidak mimpi. nyata sekali kupingku tadi dipegang seseorang dan kudengar suara cuuus itu dan kulihat benda putih mungil kini di telinga kiriku. tapi aku tidak bergerak ke mana mana. sudah lama aku tidak bergerak ke mana mana. di sini saja berkawan dengan kamu, bulan, walau aku rasanya bergerak ke sana dan ke mari, nyatanya aku di sini saja dan kita pun terus bercakap cakap.

sekali lagi mataku memandang ke langit. di sanalah malam dengan bintang dan bulan. mataku hanya memandang ke bulan. kadang kurasakan bulan itu setelah lama kupandangi ia turun, mendekat ke jendela kamarku dan saat itu aku melihat bulan di depan mataku. aku terpesona, benda langit itu benar benar seperti bulan yang kita pandangi dari bumi. warnanya kuning dan bentuknya bulan dan yang paling penting, ia telah ada di depan jendela kamarku. aku senang sekali melihat bulan di sini. kamu turun kataku bulan dari langitmu. iya aku turun dari langitku hanya untuk melihat kamu, kata bulan itu dan aku malu malu tapi kukatakan kepada bulan. bulan kalau kamu mau masuk masuk ya. aku senang kamu duduk di tepian ranjangku ini. atau duduk di meja kerjaku. atau sekaligus mengetik di mesin ketikku. pokoknya anggap rumahmu sendiri bulan.

dulu aku berkawan dengan kucing tapi kucingku sudah mati bulan. kini tak ada lagi kawanku dan kalau kamu mau, aku mau kamu jadi kawanku tapi apakah kamu betah tinggal di sini bulan. apakah kamu tidak akan kembali lagi ke langitmu. hampa dan kosong sekali rasanya, saat aku berpikir sampai ke sini tiba tiba di depanku bulan itu menghilang. cepat sekali ia bergerak. saat aku pandangi langit, tahu tahu bulan itu sudah terpasang di sana lagi. bulan kataku, jauh sekali kamu di sana sedang aku di sini. apakah ilusiku saja saat kurasakan kamu tadi hadir di kamarku ini bulan.

bulan itu bersinar di langit. dari jauh ia melihat ke diriku dan dari jauh pula kurasakan dirinya membelai belai dadaku, lalu masuk ke dalam diriku dan akhirnya diam sebagai hatiku. sekali ini aku menolak, aku takut itu mimpi lagi alias tak nyata. kutolak bukan dalam hatiku. keluarlah bulan kataku, biarkan hatiku seperti hatiku selama ini saja. kukira tempatmu di langit bukan di dalam dadaku ini.

Minggu, 20 April 2014

Gelas



betapa rapuh pengetahuan kita, bahwa di meja saya kini ada gelas, dan dia ada: ada gelas di meja saya. tapi lalu datang burung menyambar gelas saya. dibawanya terbang. saya melihat burung dengan paruhnya adalah gelas saya. lalu burung itu menghilang, gelas saya kini tiada.


tapi gelas saya itu ada, hanya adanya di tempat lain. saya tidak bisa lagi mengatakan gelas saya itu ada. sebab adanya sudah bukan di sini lagi tapi di entah. tapi pasti, gelas saya itu ada. andai ia lebur, sekali lagi gelas saya itu menghilang: ia jadi debu, dan keberadaan gelas saya itu kini sebagai debu. ia ada, tapi adanya sebagai debu.

begitulah saat tubuh saya kelak menghilang. tubuh saya kini ada, tapi saat ia menghilang, tubuh saya tiada. ia juga lebur seperti gelas saya itu, yang kubayangkan lebur - kenyataannya, kita tidak tahu. sebab ia tidak di depan mata kita lagi.

orang lain yang berkata saya sudah tidak ada lagi, saya sendiri ada, dalam bentuk serpihan-serpihan. tubuh fisik saya kembali jadi tanah, hanyut terbawa air sungai sampai ke lautan. naik jadi awan dan turun jadi hujan. (idih kamu meminum tubuhku saat menampung air hujan dari ember yang airnya kamu ambil dari sumurmu).

aku kini di lambungmu. tapi kamu bilang aku telah tiada: mati menghilang. pada kenyataannya aku ada hidup di lambung entah siapa. lalu bagaimana kita bisa berkata aku lagi? nyatanya ada aku di akumu. ada kamu di akuku karena prosesnya tinggal kita tarik ke belakang. lanangkah tempat adanya aku kelak itu? atau perempuan. kita lalu kehilangan identitas fisik tubuh, karena anasir anasirnya datang secara interteks-tanah bukan interteks-kata.

Rabu, 19 Maret 2014

Semacam Coretan balasan

Surat Kecil Untuk Istriku,
Nur Reski Waritza.

Sayang, aku tak suka puitis. Tapi inilah bahasa hatiku yang keluar dengan liar ingin menuju pintu masuk hatimu. Mataku tertahan di lantai terbawah langit, di tempat yang sama aku menemukanmu dalam buku. Kau hidup menjadi imajinasi yang nyata. Menarik-narik jariku, menarik lagi isi kepalaku, untuk mengukirmu di atas hegemoni emosiku. 

Cintaku bukan cinta biasa. Aku bisa membangkitkan kematian, aku bisa mematikan kehidupan. Seperti Tuhan, selama aku ingin mengenal cinta lebih dalam. Seperti kedalaman mercusuar di pelabuhan, ia menyoroti tiap mata, tiap matamu, tiap mataku. Seperti mata Tuhan. Membikin lampu menerangi hati yang tersembunyi dibalik bajunya.

Di dalam pikiran ada mutiara-mutiara kecil yang ingin dilepas tapi tak bisa. Hilanglah semua emas, tapi janganlah kau.  Hilanglah semua saham, tapi jangan kau. Hilanglah keinginanku, tapi jangan kau. Hilanglah semua rinduku, tapi jangan kau. Hilanglah aku, tapi juga denganmu. Kita hilang bersama ke dalam cerobong di musim dingin. Es-es putih meleleh di pipimu, menjadi serutan air yang membeku di atas bibir sungai yang kita buat dengan darah dari jantung kita.

Apa kau bersedia mati bersamaku? Saat cinta bertandang, ia melepas usia suka dan dukacitanya. Aku ingin melipat tubuhmu, memasukkan ke dalam pena. Pena yang akan kutuliskan di halaman syurga. Yang aku bentuk adalah kenangan yang melepas kita pada kematian, keabadian. Tak lagi ada lara hinggap. Kita abadi, membebaskan keinginan cinta kita, menemui Tuhan yang kita jaga dalam cinta selama ini. Maukah semati denganku? Secinta? Sehujan berdua.


Maka Janganlah menyerah sayang, Tuhan tak ajarkan itu pada kita. 
Sekalipun iniperkara dalam cinta.

Aku punya hati, tapi ia tak sepuitis atau ia memang tak bisapuitis. Ia puisi, kadang seperti skripsi. Maka aku menulis hatimu dengan puisi hatiku, tersirat. Angin ini menggiringlangkah ketepian, kuhitung pori-pori kulit. Kecil dan sulit aku tuntaskan. Sepertikisah kita, kecil tapi takkan sampai tertuntaskan.

Jangan matikan apapun, termasuk mimpi kita. Tentang ilmuyang lebih tinggi, tentang cinta yang lebih massal tapi kita rawat secarapersonal, dari puitik hati yang kita erami. Seperti hari ini, banyak yang patahdari jiwa pribumi, patah ranting, gugur daun, masam. Tapi masih bisa cinta,memaafkan yang tak dapat ditampung amarah dan airmata, ditampung tangan kita. Seperti luka,ia menyala mirip sukacita.

Aku pegangi tanganmu. Sampai kita mati bersama. Cinta kitadipertemukan. Semua yang diukir di papan reklame takdir, semua yang belumdikemukakan dalam bait-bait cair. Aku ditubuhmu, kau juga. beriringan di sayapmerpati putih. Menyusul jalan menuju syurga. Di sanalah kita jatuh cinta,berpasang, lalu menukar jantung dan rusuk. Di sanalah kita mengucap ikrar, barubisa bersama selama-lamanya.


Kepada yang tercinta..
kugantungkan jari kelingkingku.

--------------------
yang menyayangimu,
your husband.

Selasa, 18 Maret 2014

Sebentuk Coretan Dari Istriku

Di suasana pagi yang entah keberapa kalinya saya kembali dibuat terharu,bahkan saat berusaha menuliskanya saya seolah kehabisan kata untuk memulai,yang saya tau dan yang saya rasakan pagi ini air mata saya mulai berjatuhan dengan sendirinya saat tanpa sengaja setelah usai merapikan beberapa buku yang berceceran yang tidak pada tempatnya,saya menemukan sebuah buku diary istriku yang ia simpan rapi disudut tumpukan rak buku miliknya , lalu saya mulai membaca satu persatu berbagai macam tulisan diarynya tanpa ia ketahui,maafkan saya ya istriku tidak meminta ijin dulu padamu,jujur saja saya begitu terharu mendapti tulisan yang ia pernah buat untuku yang begitu tulus mengungkapkan semua perasaanya kepadaku,
Ya, memang harus aku akui selain ia memiliki hobi memasak ,saya pun juga baru mengetahui kalo ia juga sangat suka berada didunia kata-kata sama seprtiku,salah satu kesamaan yang kita berdua miliki dari sekian kesamaan yang tidak mungkin saya tuliskan satu persatu dikesempatan ini,bedanya saya lebih dulu mengetahui kesenanganya dengan dunia kata-kata lalu menemukan berbagai macam bentuk karya tulisanya dan berkesempatan membacanya tanpa ia saadari,hehehehe maafkan saya ya sayang ,mungkin engkau akan berfikir saya sedikit curang :)

---

Untuk Imam-ku

Bissmilahirrahmanirrahim..

"Aku tahu rizkiku tidak dimakan orang lain, karenanya hatiku tenang. Aku tahu amalan-amalanku tidak mungkin dilakukan orang lain, maka aku sibukkan diriku dengan beramal. Aku tahu Allah selalu melihatku,karenanya aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat. Aku tahu kematian menantiku, maka aku persiapkan bekal tuk berjumpa dengan Rabb-ku." (Hasan Al-Basri)

khaifahalluk, Akhi? Jagalah diri Akhi untuk Ana.

Perlahan waktu menuturkan kisah-kisah tertentu. Tak selalu tentang kesibukan, dan cara menjawab pertanyaan. Tapi Ana bahagia, Akhi. Bahkan sebelum Ana percaya akan kehadiran cinta yang suci, dari-Nya, Akhi. Secara perlahan, Ana menemukan potongan-potongan makna kehidupan ini.




 Ana selalu melihat kutipan yang tersimpan dalam buku harian. Kutipan terbaik yang dapat membuat Ana bangkit saat sakit, membuat Ana lebih kuat ketika sehat, membuat Ana tak segan menjadi pemimpi yang rajin menuliskan mimpi-mimpinya di luas langit, bahkan di atas air sekalipun. Cinta yang tak pernah terhapus ketika nafas masih membumbung di udara. Indah sekali perkataan Ustadz Salim A. Fillah ini,
"Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji.. Dalam dekapan ukhuwah, Aku mencintai kalian karena Allah.."

Akhi, mengertikan? bahwa manusia selalu inginkan yang terbaik bagi kehidupannya. Dan menjadi selalu lebih baik, dalam setiap pertambahan waktunya. Begitupun dengan Ana, Akhi. Ana berharap kelak, suatu masa nanti. Ada, Akhi. Setia membimbing Ana untuk melangkah lebih baik, menuju pintu Syurga. Sebelum kematian, kita akan menciptakan banyak keindahan di bumi dengan cinta yang kita ambil dari langit itu.

Ana berharap, Akhi dapat bersabar. Dari sepanjang jalan-jalan dakwah yang Akhi mulai dari keluarga kecil kita nantinya, dan pencarian ilmu-ilmu baik kehidupan maupun akhirat. Dakhwah pun itu cinta, dan usaha dengan cinta dan keikhlasan, agar senantiasa berada di jalan dengan cahaya-Nya. Akhi, Tetaplah membudayakan bahasa nurani. Tetaplah Akhi merekam perjalanan-perjalanan Akhi. Hingga sampai pada akhirnya, Ana akan menagih catatan rekaman itu sebagai maharnya.  Jagalah pikiran Akhi, pandangan, hati, jiwa, dan perbuatan, Akhi.

Tidak akan ada yang sia-sia dari cita-cita, dan kehidupan di bawah naungan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya. Tiba-tiba Ana ingat kata-kata itu, 'terhadap kehormatan diri'.  Kebenaran tidak diukur dengan banyaknya orang yang mau melakukannya, namun kebenaran adalah apa saja yang mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Ilahia.

Bimbinglah langkah, Ana kelak ya Akhi...
Ana ingin selamat dalam kehidupan yang segalanya fana ini.

Ana tau kita berdua masihlah sangat muda,namun ana ingin berterima kasih, Akhi telah banyak mempersiapkan diri untuk masa depan.

Ana masih ingat Akhi untuk sebuah permintaan Akhi dimalam itu tepat sehari sebelum Akhi datang untuk melamar Ana : "Sebelumnya Akhi meminta maaf untuk semua kekurangan yang Akhi miliki lalu cukuplah Allah yang akan menyempurkan semua-Nya sesuai kehendak-Nya,Sebelum kita menikah Akhi hanya meminta satu hal dari Ukhty agar membuat perjalanan kita berdua kelak selalu dalam naungan-Nya,Ukhty maaf kan Akhi sebelumnya,Akhi hanya ingin Ukhty tidak mencintai Akhi dan tidak memberikan semua hati Ukhty untuk Akhi,bahkan kelak bila Akhi telah halal untuk Ukhty menjadi suami Ukhty,jangan jadikan Akhi penghalang untuk betul-betul sepenuhnya bisa mencintai Allah Ukh ,karena Allah sendiri sudah berpesan bila kita menaruh hati kepada dunia (makhluk) kelak kita akan dibuat kecewa karenanya,bukankah kita tidak ingin seperti itu terjadi dan membuat Allah cemburu kepada perasaan kita yang berlebih kepada ciptaan-Nya ukh,hati kita hanya satu maka dari itu Allah membuatnya hanya untuk diri-Nya sendiri ukh,begitupun sebaliknya ukh akhi tidak akan menuntut ukhty untuk mau menyerahkan sepenuh hati dan cinta ukhty untuk akhi,jangan ukh,jangan...,
cukuplah Allah dengan sifat Maha Penyayang-Nya yang selalu menaungi hati kita berdua untuk saling berkasih sayang karena-Nya ukh , biarlah Allah yang berkehendak untuk kita berdua, seperti Ia yang berkehendak untuk mempertemukan kita berdua ukh,Akhi tidak akan menuntut yang lain ukh,cukuplah engkau taat kepadaku (suamimu) kelak, maka itu semua sudah sangat cukup untuku".

Akhi,dimalam itu Ana hanya dapat menitihkan airmata dan tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawab permintaan Akhi, selain memperbanyak syukur didalam hati kepada Allah karena telah berkenan mempertemukan Ana dengan orang seperti Akhi,Ana yang terus menyeka airmata Ana yang berjatuhan lalu diam dalam seribu bahasa malam itu mungkin membuat Akhi bingung dan merasa telah menyakiti perasaan Ana dengan permintaan Akhi seperti itu kepada Ana,tidak Akhi sekali lagi tidak demikian,Ana malah bahagia mendengarnya makanya Ana menangis Akhi,Ana cuman tidak bisa banyak berkata malam itu karena menahan getaran yang begitu hebat didalam hati Ana mendengar semua kata-kata Akhi yang begitu menenangkan dan membuat diri Ana merasa lebih yaqin dari sebelumnya bahwa Akhi memanglah laki-laki yang kelak dapat menjadi imam yang baik buat Ana dan keluarga kecil kita nantinya, Ana merasa bahagia malam itu dan membiarkan semua airmata Ana berjatuhan karena rasa syukur Ana kepada Allah Akhi,bukan karena Ana tidak bisa menyanggupi permintaan Akhi

Ana, bangga kepada Akhi yang tak pernah banyak menjanjikan sesuatu
namun Akhi membuat penegasan, karena cinta Allah, karena waktu
Kelak kita akan bertemu, tanpa lagi ada yang harus disembunyikan


Maaf Akhi ,bila boleh Ana mengatakanya "Karena Allah, Ana berani mencintaimu Akhi. Bahkan sebelum ketika Ana membisikan langsung. Allah telah menitipkan pesan itu."


---
yang mencintaimu
your wife,
: Nur Reski Waritza

Minggu, 09 Maret 2014

Semacam coretan lain disaat hujan


Masih Tentang Hujan 

"Hujan berkunjung...," Ujarmu di antara rerintiknya yang satu persatu mengetuk genting, menyanyikan nada-nada berirama taktaktaktik. "Kadang hujan berkunjung tak hanya mengetuk genting. Ia pun mengetuk pintu hatimu, membasahi sisa-sisa ketukan kenang yang lalu karena aroma mistis hujan, sisa kenangan itu tumbuh membesar, menjadi hijaunya pohon cerita yang rindang. Dan kau, entah bagaimana pula merasa nyaman berteduh di bawahnya: melagut..." Ujarmu sembari tak henti menatap hujan yang mungkin telah mengetuk pintu hatimu terlebih dahulu. "Dan kita selalu merinduinya; berlari di bawah pelukan dingin hujan, yang entah mengapa jua bisa menghangatkan kita, atau membekukan kita dalam kesunyian yang panjang; sama panjangnya perjalanan hidup, sepanjang kalimat hidup yang tak jua menemukan titik. Barangkali, jika kau membeku, pahit manisnya secangkir kopi hangat bisa mencairkanmu, untuk lalu mengalir dalam kepasrahan yang dalam.." Dan kita masih sama terdiam, membiarkan hujan menceritakan apa yang hendak disampaikannya..

Minggu, 02 Maret 2014

Semacam Coretan

Kembali teringat nasihat ini:

"Hakekatnya, mereka yang menikah berkeinginan untuk saling menyempurnakan. Itu adalah kesepakatan tak tertulis dan tak terkatakan, kesepakatan dalam kesunyian. Jika hal itu tidak ada, takkan ada yang menikah. Memang benar, kita sering mendengar 'Tak ada yang sempurna di dunia ini, kecuali Tuhan'.Namun, kesempurnaan bisa juga berarti saat seseorang terus hidup, menggeliat, dan berusaha, untuk menjadi lebih sempurna. Meski ia tahu takkan ada kata final untuk terus menjadi lebih baik. Menikah, adalah satu dari sekian usaha itu. Jalan Darma memang subtil. Biarlah jalan itu yang akan menemukan dan membimbingmu. Setiap orang punya garisnya sendiri-sendiri. Begitu juga jalan untuk menikah. Percayalah saja, bahwa kelak, akan ada seseorang. yang begitu tulus, yang tidak mengharapkan apa-apa selain dinikahi saja olehmu. Dan pada saat itulah engkau akan memberikan padanya apa saja, termasuk kesedihan-kesedihanmu, kemalangan-kemalanganmu. Itulah yang disebut 'hubungan yang tidak biasa'. Dan hanya dilakukan oleh sepasang kekasih yang 'tidak biasa'.
Karena terkadang hujan itu seperti kekasih, ketika engkau merasa ia marah padamu, hampirilah saja ia, biarkan ia menumpahkan 'kemarahan'nya pada wajahmu, kau cukup terdiam menerimanya. Niscaya mereda kemarahannya. Dan ketika kau merasakan beratnya beban yang bercokol di kepalamu, datanglah padanya, pada hujan. Biarkan rerintiknya membelai ujung kepalamu, mengalirkan beban-beban itu ke bawah kaki-kakimu, dan menghanyutkannya pada aliran air.....
Bersabarlah, Nak kelak kau akan menemuinya

***
Menjelang hari pernikahan yang tak lama lagi nasehat ini makin menguatkan aku untuk berani melangkah, nasehat yang sangat indah dari seorang abah kepada cucunya yang masih sangat belia kala itu, nasehat yang baru aku temui maknanya setelah belasan tahun lalu yang sangat begitu menenangkan segala rasa kerisauanku hari ini. Abah dialam sana yang tak mungkin dapat ku temui engkau dalam keadaanku yang masih berpijak didunia ini,aku mohon do'a restumu dan sampaikan salamku kepada guru-guru abah dan orang-orang yang dicintai oleh-Nya dialam sana. Kelak akupun akan pulang sama seperti abah pergi menuju kekedamaian yang abadi bersama-Nya ,
Semoga,
kuharap akan. . .

Jumat, 31 Januari 2014

surat terbuka

surat terbuka

Surat ini aku tulis lagi menuju tanda tanya kesekian. Padahal kau tahu, aku menuliskan ini bersama hawa dingin yang menyusup, menguliti rongga-rongga yang mengaga lama.  Angin tak pernah jera, masuk ke tubuhku. Hingga limbung nafasku. Aku ingin mengatakan, mengenai rindu yang telah lama terpendam dalam surat-surat tangan,mengenai hati yang tak pernah terjabar oleh kata kata. Memiris malam ke malam, dengan setumpuk air mata yang menjadi tinta bisu. 

Jangan lagi, kita meniru sebagai bulan dan matahari yang enggan berpamitan secara bersamaan. Matahari yang kini pergi dan hilang ke barat langit. Sementara bulan sendiri, bertapa dengan sayap-sayap jelmaan dewa. Aku lagi menuliskan surat untukmu. Kau baik-baik saja di sana bukan? Memeram lama kenyataan yang mesti kita tempuh secara bergantian. 

Aku ingin jadi satu cahaya yang setia di muka kehidupan. Agar ada juga gelap yang suka mengundang cahaya seperti satu yang ada di aku ini. Senyap ini, kuwartakan dalam kelebat angin persimpangan yang tak pernah menemukan letak halte pemberhentian. Pada sore tadi, aku melihat anak beramai-ramai bermain di pinggir rinai hal ganjil, membelah ingatan-ingatan pecah. Kau telah mengetahui masa laluku tak sesempurna lainnya, banyak retakkan yang kau temukan. Hingga serak nyanyian dalam zikir-zikirku yang entah mengembalikan aku pada kehidupan yang kusyukuri ini. 

Satu siang, setelah kau hapus kata-kata memilih membulatkan kalimat. Katamu, pamit. Dan Bibir kita saling menampilkan senyuman kaku. Kita saling menatap, tapi tak tahu ada di mana mata kita. Tubuhmu jadi makin mengecil dalam pandanganku, ketika langkah kepergianmu menyusul matahari baru. Satu langkah telah memilih mataharinya, dan meninggalkan sinarnya yang tua.

Aku sedang menunggu hujan, lambat laun yang akan menyelesaikan babak-babak yang amat anggun. Kau sedang apa? Mungkinkah, sedang melihat fotoku yang aneh. Antara senyuman dan murung, bahkan seakan melihat dua wajah berbeda dalam satu Pria. Jangan bersedih, aku tak mampu membubuhkan lagi butiran air mata dan menerjemahkannya langsung untukmu saat ini,tak perlu kau risaukan aku,aku sudah terbiasa dihukum oleh waktu untuk selalu menunggumu , menerima kenyataan yang sangat pedih dihatiku kalau kau memang tidak pernah ada disini,dan menjalani sebuah kesakitan yang sangat ku tanggung sendiri bahwa kau tidak pernah mengetahui perasaan ku yang teramat padamu,bahkan kelak ketika kau mendapti surat ini saya hanya ingin kau tau aku begitu sangat merindukanmu dalam perasaanku yang tak pernah berubah,entah denganmu ? ,aku selalu berharap dalam hidup ini memiliki sedikit waktu kesempatan untuk bisa mengungkapkan semuanya kepadamu sebelum nafasku yang kadang tersenggal benar-benar akan berhenti seketika,kadang saya begitu iri kepada orang-orang terdekatmu yang begitu leluasa bisa bertemu denganmu menghabiskan waktu hingga sore hari menikmati indahnya matahari yang terbenam dimata kita yang kian nanar, mungkin kau masih ingat saat orang gila yang kau kenal itu pernah membawaknmu sebuah kue tart yang berantakan pas dihari ulang tahunmu, saat itu sungguh hari yang sangat kacau kukira,ditambah hal-hal yang tidak pernah kau tau yang akan membuatmu tertawa bila mengetahui hal-hal bodoh apa saja yang pernah ku lakukan padamu tanpa pernah kau sadari,tentunya kau tak pernah tau ,kalau diam-diam saya pernah selalu menungguimu untuk berangkat kesoklahmu pada saat itu, lebih sering menyamar sebagai tukang ojek yang siap mengantarmu , tentunya kau tidak bakal mengenaliku dengan skrap dimuka yang selalu menutup sebagaian wajahku , tapi kau memang tidak pernah berubah sejak masih dibangku menengah pertama kau hanya selalu memilih tukang ojek yang usianya tua untuk kau percayakan dirimu diantarnya kesekolahmu pada saat itu,bukan karena saya ingin mendapat kesempatan untuk bisa mengantarmu atau dekat denganmu,tidak. kulakukan itu semua hanya karena saya tidak tega melihatmu terkadang harus jalan sejauh itu atau berdiri lama menunggu kendaraan sembari memakai jaket biru yang biasa kau kenakan hari itu, dan juga mungkin kau tak pernah tau ada pria yang selalu setia menunggumu setiap malamnya melihatmu dari kejauhan disamping "talla" sebuah lapangan sepak bola yang persis berhadapan dengan tempatmu kursus kala itu,bahkan ia hafal jam-jam dimana kau akan pulang ataukah rute jalanan yang biasa kau lalui pada saat kau pulang dari tempatmu belajar,tentu hal gila yang ia lakukan tidak hanya disitu,bahkan ia memberanikan diri menelpon ketempat kursusmu mengaku sebagai tukang ojek langgananmu yang minta untuk dijemput walau ia tau kau lebih senang dan sering pulang dengan berjalan,tentu bukan tanpa alasan,ia seperti itu hanya untuk memastikan kau sudah pulang apa belum kala itu saat ia telah lama menunggumu hingga hampir larut malam disebrang jalan lantas ia belum juga melihatmu pulang , sampai akhirnya ia tau kalo kamu sedang berlibur dikampung halamanmu menikmati masa liburan,pria itu dengan kegilaanya melakukan itu semua hanya karena ia sangat khawatir dengan sikapmu yang terlalu berani sebagai seorang wanita yang selalu berjalan sendirian melewati jalanan yang sepi tiap malamnya,kukira masih banyak hal-hal gila yang tak pernah sempat ia ceritakan kepadamu, ia sadar dengan duduk mendengarkan semua kegilaan yang ia lakukan akan sangat membuang waktumu yang sangat berharga,karena itu ia tidak mau itu terjadi, oleh sebabnya ia banyak memilih diam untuk tidak pernah menceritakan ,bukan karena ia tidak mau berbagi hanya saja ia tidak ingin dikasihani olehmu untuk semua kegilaan yang pernah ia lakukan,baginya biarlah semuanya tetap menjadi rahasia yang akan terkubur bersama jasadnya kelak,ia sadar suatu hari kau akan benar-benar berhasil melupakanya tapi tidak akan pernah benar-benar mudah untuknya seperti itu, dan malam ini, aku lebih mengharapkan kau tersenyum di sana,yang seperti katamu tanpa ada aku dalam alasan dan tidak pernah ada aku didalam hatimu. Dua hal yang mungkin kini jadi berbeda, telinga dan mata. Jangan biarkan matahari kita terlambat datang, di masa kemudian.

10 Juni 2012

Senin, 27 Januari 2014

Kuterima Hujan yang Ada



Ada yang melipathujan di alisnya. Menyusuri kanal sepi kesekian, dengan mata lilin dibalikkegelapan. Ada yang baru kehilangan diri dan kecintaannya pada dingin, pada ingin ke dalam sangkar semesti kita juangkan pendirian.

Di sini hujan memang telah reda, namun menumpuk dan menepuk dahi ingatan dari sengatan waktu yang berkejaran, bersapaan dari telapak ke tegak langit yang mewartakan musim. Musim dingin dianginkan kekesepian.

"Pada bagian mana dari deras hujan yangbelum melukaimu, Rif" terdengar suara wanita diujung pulau, sambilmemekakan kerling mata pada arus ombak dan segala yang ada di depannya. Lambatlaun, hujan menyatukan kenyataan pada basahnya tanah yang diantar.

Ada luka, ada yang disembuhkan. Ada yangmenyembuhkan, ada luka baru. Luka-luka temannya hati yang dikuatkan, palingsahabat dari sebuah ihwal ketegaran dan kekeraban ideologi hidup di sini:bahagia ditemukan, dibuat dari program pembangunan luka.

Ada wanita yang amat mencintai hujan, sepertimencintai hidupnya meski dilakoni sebatang lini hati. Ada laki-laki yang mencintaikesunyian yang telah menumbuhkannya dalam perayaan bahasa basah dan kering,bahasa renyah dan keras, bahasa yang asin dan manis, bahasa hangat dan dingin,bahasa hujan dan angin. Seperti mencintai banyak hidup dalam satu peraga, satulini hati.

Seperti keadaan hawa malam, udara begitu menusukberkamungplase di dada-dada yang belum juga dapat kembali pada mimpinya dibawahselimut, di bawah keadaan harapan, di bawah perayaan keasingan.

Aku suka hujan, sepertimu..
Ia selalu merancang air dari langit agar kembaliturun ke bumi, turun ke tanah. seperti kita yang mungkin bermula dari langit.Hanya bagan keasingan begitu kuat medannya, begitu mengajak kita menemukankata-kata paling tepat dan akurat untuk mendefiniskan apa hikmah dibalik hujanyang kita cintai dalam lini hati. Aku menyukai bau hujan, bau kehausan, bauyang mengajak kita berlarian ke arah yang jauh lebih jauh dari hujan.

Aku suka hujan, sepertimu
Hujan tahu cara memeluk tubuhku
Agar tak palsu bersandiwara
Hadapi keberanian atau ketakutan.

Sepertimu
Diam-diam menghanyutkan lisal segala
ke tiba-tiba.
Dari kesetiaan
Aku terima hujan yang ada
Membenarkan letak permainan kepala
Di bawah-bawah kepalan hujan menuju dada,
menuju harapan yang terus berkobar membakar sebatanglini hati,

Maka pada bagian mana dari deras hujan yang belum melukaimu, Rif.

Jumat, 17 Januari 2014

Semacam Catatan Melankolik


Udara makin panas untuk masuk ke dalam tubuh yang lama mengutub dibagian terkedapnya.Matahari seolah paling meninju-ninju atmosfer yang sudah berlubang-lubang oleh tangisan manusia di dalamnya. Kadang, aku iri melihat orang-orang yang sehat dan tak mudah sakit-sakitan. Tapi Tuhan mengajari kita untuk menerima diri. Mensyukuri tiap hal yang kita dapati, kenakan, dan yang menjadi bagian jalan alur usia.

Siang mencapai pelabuhan senja ini buatku agak melankolik. Pelajaranya ialah respirasi yang baik. Dadaku membengkak terbiasa lari-larian di atas udara. Maka, jalan respirasiku agak sedikit membuat lalu lintas menjadi padat, maksudku sesak. Sudah lama aku ingin menulis lagi. Pura-pura menjadi kecebong yang ingin lekas melompat dari kolam dangkal. Melawan arus badai Hayna.

Setiap hari ialah induk kaset tua yang dapat merekam lalu terbuang dengan biasa. Kadang,orang bisa buat macam hal menjadi ayunan yang kemudian bisa buat tawa di wajahnya atau muram yang sangat asam dan kusam di bibirnya.

Jika musim air datang. Aku biasa menyalakan hujan sekalipun itu di dalam dadaku. Kadang air dapat membuat lunak kawat yang berduri dan kadang ia bisa membuat aliran listrik di tubuhku jadi bahan penghangat yang paling cair, seperti yang berasal dari dua bongkah bulatan mata. Ia buatku makin percaya akan keajaiban Tuhan dan begitulah sejauh ini aku mempertahankan hidupku, percaya keajaiban yang Tuhan tawarkan.

Makin lama hidup, makin sering aku saksikan kematian manusia-manusia pribumi dan ditinggal orang-orang yang dikasih. Kadang, tiap aku menyelesaikan tugas untuk menanamkan kesedihan aku tarik tangan Tuhan dan ia selalu mampu buat geletar dalam kalbuku. Tuhan, ini aku dalam doa. Nafasku seperti ini, kadang mendesak ingin kau suapi udara ke dalam organ, wadahku untuk bergerak. Aku sedang berada di puncak merapi yang punya banyak lembah kelelahan sekaligus kesibukan, tapi kadang menyenangkan meski harus sampai menyeret kepalaku sendiri hanya untuk melindungi lilin kecil agar tetap menyala, dan cahaya itu dapat menjadi bahagia bagi mereka yang buat aku berani punya cita dan tujuan.

Maafkan aku Tuhan...
Sering aku menyusahkan dan berkeluh selain pada-Mu. Ini aku, mahkluk kecil yang pernah Kau ciptakan dengan penuh cinta. Manusia dan cinta memang dilahirkan secara bersamaan. Ini cintaku lagi, lagi untuk-Mu..

-----------------------------
diketik 
pada saat jam di tangan menunjukan waktu pulang lebih cepat. 

Sebuah cerita selepas hujan

Semacam cerita pendek : Orangorangan Sawah dan Seekor Burung Pipit

Di tahun-tahun yang telah berlalu semenjak ia berdiri di tegalan sawah itu untuk menakuti burungburung yang hendak singgah di sekitar sawah yang ditungguinya. Ia, orangorangan sawah itu pernah berpikir dalam diamnya yang abadi, bagaimana mungkin dirinya yang hanya diam menegak berdiri diam bisa membuat burungburung ketakutan untuk hinggap di atas batangbatang padi itu. Ia pernah mendengar cerita dua orang anak kecil yang melintas, bagaimana seorang salik yang sedang menyepi dihinggapi burungburung di atas bahu dan kepalanya karena kedalaman dan tenangnya semedi sang Salik. Begitulah, jauh di dalam hatinya yang tak pernah diam, orangorangan sawah itu tak pernah ingin menjadi alat pemicu ketakutan burungburung. Ia teramat menginginkan burungburung itu singgah di tangan kanankiri jeraminya itu, mendengarkan celoteh dan nyanyian mereka yang tak pernah habis sembari menunggu senja. Baginya, tak ada keinginan untuk ikut berceloteh dengan burungburung itu karena tahu keterbatasan dirinya untuk diam. Maka tiap kali rombongan burung terlihat mengangkasa, api harapan dalam dadanya perlahan membara, terbakar bersama doadoanya yang menjalar melalui jemarijemari jeraminya yang tak kuasa untuk menguncup: agar burungburung itu hinggap di antara tangan dan bahunya. Sayang, doadoanya yang tak pernah berguguran, tak seperti badan jeraminya tak kunjung memekar. Ia pun tetap diam berdiri dalam doadoa yang mengalir.

Sore ini, setelah siang panas tadi yang teramat menyengat, langit tibatiba bermuram durja. Hanya pekatnya hitam yang terlihat merias wajahnya. Sedang angin mulai mengamuk di antara tetestetes hujan yang semakin menebal, membentuk badai. Orangorangan sawah itu masih saja terdiam di antara kerasnya deru badai angin dan hujan. Ia memang tak pernah peduli pada cuaca. Dalam hatinya jika memang hari ini adalah hari terakhirnya berdiri sebagai orangorangan sawah, ia berharap dirinya bisa menjadi tempat berlindung

Kamis, 16 Januari 2014

SENYUMAN HUJAN PADAKU

SENYUMAN HUJAN PADAKU

aku selalu tahu apa yang akan kau lakukan
jika hujan mulai deras, kita memecahkan kenangan
di dalam genangan air yang kotor dan penuh kuman
aku taruh senyummu di sana, di awan yang abu tua
aku simpulkan senyummu di situ juga.
bahkan, aku hanya melihat senyummu saja
antara peristiwa yang kita ketahui,
selalu berakhir memilukan.

jika kita tua nanti, kau akan memilih hidup di mana?
aku biasa hidup dengan puisi, juga sendiri menulisi dahiku.
kau jadi bayang-bayang yang kerap menempel kubentuk.
diam-diam aku meniru senyuman manusia, dan pergi-
tiba
-tiba membawa sekardus catatan kumpulan harapan manusia.

apakah nanti, aku bisa tua juga sama sepertimu?
menceritakan sejarah masa muda kita yang begitu curang
dan lucu, senang hujan-hujanan sampai demam satu bulan.
tapi kita membayangkan senyuman Tuhan yang begitu indah.
senyuman Tuhan yang dipasang di dada dengan lapang.

kau yang menarik hati mudaku.
aku akan menemukanmu kelak
sealbum senyuman yang aku kumpulkan
kita tak memerlukan katalis untuk mempercepat segmen hujan
yang kita jadikan lukisan air dengan figura keajaiban.

jika kelak aku pergi tiba-tiba, sama seperti kelahiran dan kematian.
aku ingin kamu menyimpan senyuman yang sudah sejak lama
aku kumpulkan untuk menciptakan keajaiban..