Minggu, 27 September 2015

Ode sederhana teruntuk anaku.2


Ya Tuhanku..., binalah anak hamba untuk menjadi seseorang yang cukup kuat untuk mengakui kelemahannya, cukup berani untuk mengakui ketakutannya, bangga dan tabah serta jujur dalam mengakui kekalahan, rendah hati dan lemah lembut dalam kemenangan.
Seorang anak yang sadar bahwa mengenal Engkau dan mengenal dirinya sendiri adalah landasan segala pengetahuan.
 Hamba mohon kepada-Mu.., janganlah perjalankan dia di jalan yang mudah dan melenakan, namun berilah dia kesempatan untuk mengalami tekanan dan cobaan di jalan yang penuh kesulitan dan tantangan. 
Berilah dia kesempatan belajar untuk tetap tegak dalam prahara, welas asih kepada yang mengalami kegagalan. 
Binalah anak hamba untuk berhati tulus, bercitacita tinggi. 
Seorang anak yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain, seorang anak yang memahami arti tawa ceria tanpa melupakan arti tangis duka, seorang anak yang mampu memandang jauh ke masa depan namun tidak melupakan masa yang telah silam. 
Dan bila semua ini telah menjadi miliknya, aku mohon kepada-Mu, tambahkanlah secercah kejenakaan supaya ia dapat bersungguhsungguh namun juga dapat menikmati hidupnya. Anugerahilah ia kerendahan hati dan kesederhanaan, yang merupakan dasar keagungan sejati, kesediaan untuk menerima kenyataan yang merupakan dasar kearifan sejati, dan kelembutan yang merupakan dasar dari kekuatan sejati...




# janganlah engkau membuat dirimu lalai dari selain-Nya

sekecil apapun walau itu dengan sekedar mencintai ayahmu.








Minggu, 20 September 2015

Ode sederhana teruntuk anakku

Duhai Anakku

janganlah engkau membuat dirimu lalai dari selain-Nya

sekecil apapun walau itu dengan sekedar mencintai ayahmu

 Duhai Anakku

Janganla­h melihat dunia ini melalui matamu

tapi lihatlah dunia ini melalui mata kakimu

belajarlah pada saudara-saudara ayahmu dan guru-guru ayahmu

karena ayahmu tak mampu mengajarimu lebih baik dari mereka

dan kelak saat ayahmu ini telah berpulang banyak-banyaklah belajar kepada mereka
 
pada orang-orang yang tidak begitu terkenal didunia dan tak ingin dikenal oleh dunia

namun begitu sangat dikenal oleh penduduk langit.

Dan Anakku

belajarlah pada orang-orang yang tidak meminta imbalan kepadamu

karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk.

Jumat, 05 Juni 2015

Semacam Coretan

Aku berdiam pada suarasuara kata, hening. Namun aku masih berbicara denganmu, dalam kudus bahasa hati. Aku berjalan pada gemetar langkahnya. Kurasakan langit di bawah telapak kakiku dan dunia mengambang di atas kepala; Berhenti berputar, dalam diam bersamaku. Aku mendengar gemuruh derap langkah di belakangku, langkah-langkah orang yang datang dari masa lalu. Diam; seolaholah mereka mati. Lantas masa lalu memundur beberapa saat. "Maka biarkanlah kuselesaikan jalanku hari ini."

Diriku, bukankah hidup dimulai pada hari terakhir? Ada banyak hari, bukan? Tapi hidup hanyalah seberapa. Dan ketika hanya tersisa satu hari untuk pergi, aku bergegas masuk ke dalamnya dengan keseluruhan harap untuk tinggal di sana. Bukankah dengan cara ini kehidupan dimulai saat itu berakhir? Karena itulah hidup tidak pernah akan hidup! Aku masih menggenggam sehari tersisa, Otakku terus bergumul dengan waktu mencari sebuah jawaban; "Apa yang harus kulakukan? Memulai hidup? Dengan apa akan kumulai hidup ini? Dengan siapa? Bagaimana? Dengan apa? Tindakankah? Atau hanya sekedar ucapan?"

Dan jika kebetulan aku bertemu seseorang, tentang apa yang akan kukatakan padanya? "Denganmu sekarang, kan kumulai hidupku?" Jika kukata ini, dan ia menjawab, "Bagaimana aku hidup? Kuucapkan selamat tinggal? Bagaimana aku menjalani kehidupan kematian?"

Dalam ruang ini hanya ada serpihanserpihan manusia ribuan tahun lalu, pada debudebu mereka yang berserakan kukatakan selamat tinggal. Karena aku akan menjadi serpihan seperti mereka.  Ku ucapkan selamat tinggal kepada lingkar planetplanet yang mencapaiku pada vakum ruang galaksi jauh. Galaksi yang berputar, debudebu bintang yang menyebar, udara yang terlahir berjuta tahun lalu: Pada hening diam.

Kuucapkan selamat tinggal untuk gunung berapi dalam terengahengahannya. Dengan gerimis yang menangisi kematian hati, kuucapkan selamat tinggal kepada riak gelombang yang memukul jasadku. Atau haruskah kubenturkan diriku dengan sendiri untuk menjadi diam? Pada semua berbeda yang aku. Mangsakah pada akhirnya? Karena tiada ku mampu, waktu yang lama, untuk meringankan riuh dunia dari setidaknya satu suara? Tidakkah alam semesta harus beristirahat? Suara semua harus menjadi diam. "Oh, diamlah... untuk beberapa hening yang tenang!"

Aku tidak bisa menggambarkan hari, tidak bisa kujelaskan apaapa. Berbicara tidak lain hanyalah pengkhianatan. Mereka tidak berbicara pada hari terakhir. Mereka hanya diam dan pergi. Bukitbukit itu diam juga. Dan aku, dengan mengaduk matahari dan angin, satusatunya suara. Tapi aku, dengan gerakgerak monoton dalam hening kematian, telah dijerat misteri dari hidup.

Bagaimana yang sederhana sepertiku melemparkan percikan rasa dan warna antara rahang rapuh untuk menciptakan tempattempat yang akan melindungi kita? Bagaimana kami dapat terus sampai hari ini? Aku fana. Nyanyian tasbih dedaunan hati dan reranting kering jiwa menyelamatkan hidupku. Bukan hidup yang kulindungi, tapi kematian.

Kelahiranku dicampur dengan rerumputan. Dan di bawah mereka, tipis telinga dari gandum tanahku menemukan mati. Akui tidak pernah memakai pakaian, pernakpernik atau gelang. Tapi nafasnafasku menjelma kain dan ornamen. Aku telanjang. Kutemukan riam kehangatan pada nyala kayu bakar kelahiran dariku yang terengahengah, kering. Aku hidup dalam kulit, bukan di luar. Tinggal hidup di tempat persembunyian rahasia, di keremangan, di dalam rahim, sebelum lahir.

Perayaan kelahiranku dalam pembuluh darah yang mengalir pelan, bukan dalam riuh dan gemerlapnya kota. Aku menetap di satu tempat dalam dunia imajinasi . Karena aku kafilah di kepalaku, namun tidak di antara jalanjalan kehidupan. Aku dan diriku, kami bertemu hidup sekali, sebelum pintu kematian. Pada masa kecil kami; kami muda dan tua usia.

Aku menoleh dan melihat kembali pada masa sekarang: untuk orangorang hilang tenggelam terkubur tulang sumsum mereka, pada orang yang berdiri di trotoar jalan kehidupan, pada mereka yang mengulurkan juluran tangan mereka yang mencari jalan keluar, sampai orang-orang yang baru saja masuk, dan hampir ku tak tahu apa yang mereka lakukan. Aku menoleh ke belakang dan melihat: ketika aku terdampar dalam lorong sumsum tulang waktu, mungkin telah kubuka jalanku sendiri: Kosong adalah cara. Kekosongan adalah batu.

Harihari yang pergi sekarang, tidak lebih dari sebuah hari untuk memasuki kehidupan.Tapi aku berakhir di sana, dan aku tak pernah masuk. Apa kita hidup dari kehidupan adalah praktek itu. Aku pun hidup sebelum kelahiran. Dalam arteri yang masih terbentuk, dalam rona wajah berbentuk, di dalam ringan isi perut kegelapan. Aku hidup di tepi, antara menjadi dan ketiadaan: Di pintu. Dan bila kucoba keluar, mungkin hancur, seperti tubuh surgawi, di jurang tak berdasar.

Jadi aku tidak berbicara tentang kehidupan. Aku tidak menggambarkan kelahiran, karena tidak ada. Aku tidak menulis tentang cahaya, tapi kegelapan. Tidak mengingat apa, tetapi apa yang seharusnya: Anggapan bahwa ini akhirnya mungkin apa yang kita sebut kehidupan kita. Dan mengucapkan selamat tinggal pada itu, mungkin, satusatunya kepastian yang lebih beberapa detik di depanku.

Aku akan merayakan desir yang menggelorakan pembuluh darahku. Akan kusambut orang-orang yang tibatiba muncul dari kekosongan, dan
menari dengan mereka dalam hening diamku. Ya, di hening diamku..




***
Diketik saat penulis merasai hening dipintu Ramadhan

Kamis, 07 Mei 2015

Semacam Coretan

Sesuatu Semacam Penggombalan

Kekasihku,
Apakah kau pernah mendengar cerita tentang langit? Betapa ia merindui bumi dengan rindu membiru. Lalu ia sembahkan drama siang dengan kemilau mentari, dan malam dengan percik cahaya bulan dan bintang. Ia lukis gemulai awan dan tarian beburung, sepoi angin dan basah gerimis, pada pagi dan senja hari. Rindu menjuntai bersama derai hujan, lenguh Guntur dan gelegar halilintar: Berdentum di bilikbilik paling sunyi. Rindu terus saja membiru.
 

Kekasihku,
Pernahkah kau dengar hikayat sang bumi? Betapa ia merindu langit dengan segenap kesungguhannya. Lalu ia sembahkan drama kehidupan dengan laut dan hutanhutan, sungai dan ngaraingarai. Ia lukis keindahan bunga, hembuskan semerbak cinta, pada pagi dan senja hari. Rindu menderu bersama gemuruh bayu. Di selatan, nelayan melarung sepi bersama bidukbiduk sunyi. Rindu selaksa pasir, debu menggulung mimpimimpi.
 

Kekasihku,
Pernahkah kau dengar kisah lautan? Betapa ia merindu daratan dengan keseluruhan ikan dan koralkoral. Lalu ia sembahkan tarian ombak, menghantar buih kerinduan pada pasir pantai atau karang di lereng curam. Rindu tak pernah lekang. Laut terus saja bergemuruh.
 

Kekasihku,
Pernahkah kau dengar riwayat daratan? Betapa ia rindui lautan dengan segenap gunung dan batu cadasnya. Lalu ia sembahkan sungai. Aiiih..., betapa khusyuk ia mencari muara. Di utara, gunung mengaum.

Kekasihku,
Inilah kisah rindu paling tua, kisah cinta paling hingar. Langit dan bumi, darat dan laut, berkelindan di kesunyian malam. Cinta tak pernah tidur, ia terbangun di sepanjang buritan kapal.

Dan, 

Kekasihku, akulah bumi dan langitmu, darat dan lautmu. Maka jangan beranjak dariku



----
Pada saat penulis mencoba untuk merayu.

Rabu, 06 Mei 2015

Ayah dan Putri kecilnya

Kepada Najwa di awal Mei






; Matahari di Hatiku


Anakku, segala musim di sini tidak sekalipun dapat mengubah musim kerinduan ayah akan gelak anak perempuanya. Ayah sudah sangat berusaha sejauh ini Sayang. Berusaha untuk tidak menjadikan alasan akan kesedihan karena dibuatnya rindu dari olahan ingatan. Najwa... Sayang... Ayah sangat ingin, kamu peluki. Meski tanganmu hanya sebatas setengah lengan atas. Setengah mata Najwa, ada di setengah mata ayah.

Belakang, langit sering menangis. Atau hujan membuatnya seperti demikian. Penuh air yang dijatuhkan dari yang tinggi itu Sayang. Tapi kenanglah, kalau tanpa hujan kita akan mati kehausan dan mati menjadi arang. Ayah sangat menyukai hujan, Sayang. Bukan cuma kesedihan, tapi hujan ingatkan kita kalau kelak kita akan ke langit yang misterius dari lahan sempit daratan ini. Cahaya-cahaya menari saat hujan tiba, sekalipun awan tampak menakutkan. Karena ia mampu membawa malam seolah setengah dan muram. Namun, langit selalu indah, ia tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Bahkan dari matamu, Najwa.

Sewaktu kecil, ayah senang bermain seolah menjadi dewa langit. Tiduran di halaman, sekalipun kotor ayah tak pedulikan. Ayah pandangi kapas-kapas awan. Mereka temani ayah, tangan ayah bergerak. Seolah membuat animasi dan mengkremasi mimpi-mimpi yang tidak dapat dengan mudah ayah dapatkan kini. Ayah membentuk apa yang ayah inginkan. Apapun. Berharap agar Allah tiba-tiba melihat gerakan ayah membentuk awan-awan-Nya. Saat hujan, dari balik jendela Ayah mendengar dengan khidmat bunyi hujan. Bunyi air yang tidak sendiri. Ayah yang sangat penyendiri sangat menyukai benda mati dan gerak alam, sekalipun bagi ayah semua memiliki caranya untuk hidup.

Sayang... Kehadiran kamu, membuat ayah tak merasa sedingin saat hujan seolah marah dan membenturkan dingin ke sendi-sendi. Ayah masih muda, namun tulang belakang ayah rentan sakit. Hehe lucu ya. Harapan ayah cukup, jangan dulu sakit saat kamu membutuhkan ada dipangkuan ayah. Najwa membuat ayah hidup. Hati yang dulunya kalap dengan dinginnya kehidupan, kini kamu petih bunga api ke dalam kubah es ayah. Pelan-pelan mencair, seperti keinginan dan harapan-harapan.

Jangan malu untuk mengatakan kasih dan sayang pada siapapun di dunia ini, Nak. Sebab, keindahan hidup terletak pada perasaan-perasaan hidup yang saling mengasihani, berbagi, dan menerima apa yang terjadi setelah suka, setelah duka. Ayah selalu kangeeeen sekali. Ayah jahat ya. Ayah bilang kangen, Najwa belum ngerti ya. Harusnya untuk membuatmu mengerti adalah kehadiran ayah yang tidak pernah melewatkan lelapmu, bangunmu, laparmu, mandimu, bahkan saat engkau sedang asik bermain dengan duniamu. Ayah... selalu sangat merindukan kamu, Nak..





----

Pada saat penulis memandangi foto putri kecilnya.